Selasa, 05 Juli 2011

STUDY-KAJIAN-TASAWUFF

Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek Fiqih, khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik. Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan.[1]
Makalah yang sederhana ini akan dipaparkan beberapa istilah kata-kata kunci seperti tasawuf, sufi dan tariqat, sumber dan perkembangan pemikiran tasawuf, variasi praktek tasawuf, pendekatan utama dalam kajian tasawuf, tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf, hubungan ilmu tasawuf dan filsafat dan perkembangan mutakhir studi tasawuf.

A. Pengertian Istilah-Istilah Kata-Kata Kunci: Tasawuf, Sufi,Tariqat
Ada sejumlah pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli, baik dari kalangan para sufi (pengamal ajaran tasawuf) maupun yang bukan, terhadap kata tasawuf. Namun demikian tidak mungkin mencantumkan semua definisi dalam tulisan ini, karena sebahagian definisi memiliki kesamaan arti dengan definisi lain, meskipun menggunakan redaksi yang berbeda.
Untuk tujuan kejelasan arti kata tasawuf atau sufi, diperlukan penelusuran terhadap asal usul penggunaan kata tersebut. Dengan penelusuran ini, diharapkan akan memberikan gambaran jelas akan makna kata tasawuf yang sesungguhnya.
Para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang asal usul penggunaan kata tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut dinisbahkan kepada perkataan ahl al-suffah.
الصوف متصل بأهل الصفة وهم اسم اطلق على بعض فقراء المسلمين فى صدر الإسلام كانوا ممن لا بيوت لهم  فكانوا يأوون إلى صفة بناها الرسول خارج السمجد بالمدينة
“Kata shufi berhubungan dengan perkataan ahl al-shuffah, yaitu nama yang diberikan kepada sebahagian fakir miskin di kalangan orang-orang Islam pada masa awal Islam. Mereka adalah di antara orang-orang yang tidak punya rumah, maka mereka menempati gubuk yang telah dibangun oleh Rasulullah di luar masjid di Madinah.”[2]
Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata shafa yang berarti suci.
وقالت طائفة انما سميت الصوفية صوفية لصفاء اسرارها ونفقاء أثارها
“Segolongan (ahli tasawuf) berkata: bahwa pemberian nama shufiyah karena kesucian hatinya dan kebersihan tingkah lakunya.”[3]
Dengan demikian mereka memiliki ciri khusus dalam aktifitas dan ibadah mereka yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.Selanjutnya, ada yang berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata shaff yang berarti barisan.
“Satu kaum berkata, bahwasanya mereka menamakan shufiyah karena mereka berada pada barisan (shaf) terdepan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan ketinggian cita-cita mereka kepada-Nya dan kesungguhan mereka untuk bertemu dengan-Nya dan ketegaran (ketetapan) hati mereka di sisi-Nya”[4]
Ada yang menisbahkan kata tersebut kepada kata ash-shufu yang berarti bulu atau wol kasar. Hal ini karena para sufi mengkhususkan diri mereka dengan memakai pakaian yang berasal dari bulu domba. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar bukan wol halus yang dipakai sekarang. Memakai wol pada saat itu adalah sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya ialah memakai sutra, oleh orang-orang yang mewah hidupnya dikalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin, tetapi berhati suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutra dan sebagai gantinya memakai wol kasar.[5]
Bagaimanapun, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Khaldun bahwa seseorang tidak begitu saja dapat disebut sebagai seorang sufi hanya dikarenakan ia memakai pakaian yang terbuat dari wol kasar.[6]
Pakaian ini menggambarkan bahwa mereka adalah orang yang sangat sederhana yang tidak menampilkan diri dengan pakaian-pakaian yang bagus, halus dan mahal. Hal ini terlihat dari kata suf itu sendiri yang berarti kain wol kasar. Ini menggambarkan ketidak cendrungan mereka kepada kehidupan duniawi.
Ada juga yang menisbahkan kata tersebut kepada bahasa yunani yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah yang berarti kebijaksanaan. Kata Sophos dalam bahasa Yunani menunjukkan kondisi jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran. Dan masih ada pendapat lain yang menghubungkan kata tasawuf tersebut dengan perkataan lain. Yang jelas dari segi bahasa atau asal usul penggunaan kata tersebut dapat dikatakan bahwa kata tasawuf berkonotasi pada kebijakan, kesucian hati dari godaan hawa nafsu, memutuskan ketergantungannya dengan kehidupan material yang dapat menggangu hubungan dengan tuhan, hidup dalam kezuhudan dan menenggelamkan diri dalam ibadah sehingga semakin dekat dengan-Nya.
Secara terminologi, tasawuf diartikan beragam. Hal ini di antaranya karena berbeda cara memandang aktifitas-aktifitas para sufi. Berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang difomulasikan oleh para ahli-ahli tasawuf.Ma’ruf al-Kharkhi sebagaimana yang dikutip oleh As-Suhrawardi mengatakan: “ Tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di tangan makhluk”.
Definisi ini menggambarkan bahwa tasawuf berupaya mencari hakikat kebenaran dengan meninggalkan kesenangan duniawi. Kesenangan duniawi tidak menjadi perhatian dan bahkan dijauhi karena dapat mengganggu ibadah dan hubungan dengan Allah.
Muhammad Amin Kurdi mengatakan bahwa tasawuf adalah: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk dan perjalanan menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).
Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa tasawuf berkutat pada kegiatan-kegiatan pembersihan jiwa, mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, cara-cara suluk dan mendekatkan diri dan berada di hadirat Allah.
Di samping itu, al-Junaid al-Bagdadi mengemukakan bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyyah(kemanusiaan), menjauhi, hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah, dan mengikuti syariat Rasulullah.[7]
Dari beberapa penjelasan diatas sudah dapat diambil pengertian tasawuf, dimana di dalamnya mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara- cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi, cara- cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan Allah. Sedangkan sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf.
Sementara tarekat terambil dari bahasa Arab al-Thariqah yang berarti “jalan”. Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah. Thariqah juga mengandung pengertian organisasi. Yang mempunyai syeikh, upacara ritual dan bentuk dzikir tertentu.
Dengan demikian ada dua pengertian tarekat. (1) tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakukan oleh orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkat kerohanian tertentu. Tarekat dalam artian ini adalah dari sisi amaliyah. (2) tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi yang didirikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang syeikh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu.
Untuk melihat hubungan antara dua pengertian di atas dan juga hubungannya dengan tasawuf menarik untuk dikutip apa yang ditulis Abuddin Nata berikut:
“Tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan sebagaimana yang disebutkan diatas. Dengan kata lain, tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian, tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarikat itu adalah cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah hubungan antara tarekat dengan tasawuf.”[8]

B. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
a) Sumber Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya berkosentrasi pada kehidupan ruhaniyah, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui berbagai kegiatan kerohanian seperti pembersihan hati, dzikir, ibadah lainnya serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf juga mempunyai identitas sendiri di mana orang-orang yang menekuninya tidak menaruh perhatian yang besar pada kehidupan dunia bahkan memutuskan hubungan dengannya. Di samping itu, tasawuf didominasi oleh ajaran-ajaran seperti khauf dan raja’, al-taubah, al-zuhd, al-tawakkul, al- syukr, al-shabr, al-ridha dan lainnya yang tujuan akhirnya fana atau hilang identitas diri dalam kekekalan (baqa) Tuhan dalam mencapai ma’rifah.
Al-Qur’an adalah kitab yang di dalamnya ditemukan sejumlah ayat yang berbicara atau paling tidak berhubungan dengan hal-hal tersebut diatas. Di dalam Al-Qur’an ditemukan perintah beribadah dan berdzikir, diantaranya: “Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.[9]. ”Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”.[10].
Tentang bagaimana seharusnya melihat kehidupan dunia, Al-Qur’an di antaranya menegaskan: “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah orang yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. ”[11]
Di samping itu ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Muhammad setiap bulan Ramadhan bertahannus di Gua Hira untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati serta hakikat kebenaran di tengah-tengah keramaian hidup, ditemukan sejumlah hadits yang memuat ajaran tasawuf, diantaranya adalah hadist yang artinya: ”Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu berkata: Wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku. Nabi berkata: Bertakwalah kepada Allah karena, itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena itu kehidupan seorang rubbani muslim, Berdzikirlah, karena itu adalah nur bagimu.”[12]
Tentang kwalitas dan kwantitas ibadah Rasulullah, Aisyah r.a pernah berkata:
“Sesungguhnya Nabi SAW bangun di tengah malam (untuk melaksanakan shalat) sehingga kedua telapak kakinya menjadi lecet. Saya berkata kepadanya:”Wahai Rasulullah mengapa anda masih berbuat seperti ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa yang telah lalu dan yang akan datang bagimu?” Nabi SAW, lalu menjawab:”Salahkah aku jika ingin menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur”.[13]
Ayat –ayat dan hadits-hadits yang dikutip di atas hanya sebahagian dari ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengemukakan hal-hal kehidupan ruhaniyah yang ditemukan dalam tasawuf. Kehidupan yang didominasi oleh takut dan harap, kezuhudan, berserah diri kepada Tuhan, bersyukur dan ridha serta dekat dengan Allah. Kehidupan seperti inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah sendiri serta para sahabat-sahabatnya, khususnya mereka yang dijuluki ahl al-shuffah.
Karena itu, setelah mengutip sejumlah ayat yang berhubungan dengan ajaran-ajaran tasawuf dan menjelaskannya, Muhammad Abdullah asy-Syarkawi mengatakan:
“Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa asal mula tasawuf Islam dapat ditemukan semangat ruhaninya dalam Al-Qur’an al-Karim, sebagaimana juga dapat ditemukan dalam sabda dan kehidupan Nabi saw., baik sebelum maupun sesudah diutus menjadi nabi. Awal mula tasawuf Islam juga dapat ditemukan pada masa sahabat Nabi saw beserta para generasi sesudahnya.”[14]
Abu Nashr As-Siraj Al-Thusi mengatakan bahwa ajaran tasawuf pada dasarnya digali dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena amalan para sahabat, menurutnya, tentu saja tidak keluar dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Menurut hemat penulis jika beberapa konsep yang ada di dalam tasawuf seperti taubah, al-zuhd, al-tawakal, al-syukr dan lainnya dirujuk kepada Al-Qur’an, maka jelaslah bahwa Al-Qur’an adalah sumber utamanya walaupun dalam perkembangannya mungkin dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh asing.
(b). Awal Muncul Tasawuf
Istilah Sufi baru muncul kepermukaan pada abad kedua Hijriyah, sebelum itu Kaum muslimin dalam kurun awal Islam sampai abad pertama Hijriyah belum meneganal istilah tersebut. Namun bentuk amaliah para Sufi itu tentu sudah ada sejak dari awal kelahiran Islam itu di bawa oleh Rasulullah Muhammad saw, bahkan sejak manusia diciptakan.
Sejarah historis ajaran tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat, berawal dari upaya meniru pola kehidupan Rasulullah saw. baik sebelum menjadi Nabi dan terutama setelah beliau bertugas menjadi Nabi dan Rasul, perilaku dan kepribadian Nabi Muhammadlah yang dijadikan tauladan utama bagi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi doktrin yang bersifat konseptual. Tasawuf pada masa Rasulullah saw adalah sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat-sahabat Nabi tanpa terkecuali.
Pada awal perkembangan tasawuf, sekitar abad 1 dan ke-2 H, tasawuf ditandai oleh menonjolnya sifat zuhud. Pada fase inilah muncul zahid muslimyang termasyur di kota- kota seperti Madinah, Kufah, Basra, Balk, dan juga kawasan Mesir. Mereka merupakan gerakan yang menginginkan agar kaum muslim hidup secara sederhana, sebagaimana dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya gerakan tersebut tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.
Di Madinah, Sa’id bin Musayyab (w. 91 H), murid dan menantu Abu Hurairah ra (salah seorang ahl as-suffah), mencontohkan hidup zuhud kepada para pengikutnya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa suatu kali ia ditawari sejumlah tiga puluh lima ribu dirham uang perak. Ia menolaknya dan beliau memandang para penguasa Bani Umayyah-kata Ibnu Khallikan, penulis biografi tokoh-tokoh Islam klasik- sebagai tiran, sehingga tidak mau membaiat Abdul Malik bin Marwan ketika naik tahta kerajaan.[15]
Menurut catatan sejarah dari sahabat Nabi yang pertama sekali melembagakan tasawuf dengan cara mendirikan madrasah tasawuf adalah Huzaifah bin Al-Yamani, sedangkan Imam Sufi yang pertama dalam sejarah Islam adalah Hasan Al-Basri (21-110 H) seorang ulama tabi’in, murid pertama dari Huzaifah Al-Yamani beliau dianggap tokoh sentral dan yang paling pertama meletakkan dasar metodologi ilmu tasawuf. Hasan Al-Basri adalah orang yang pertama memperaktekkan, berbicara menguraikan maksud tasawuf sebagai pembuka jalan generasi berikutnya.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam, baru muncul pada abad ke II H/XIII M, atau paling tidak dalam bentuk yang lebih jelas pada abad ke III H/X M. Namun, sebagai pengalaman spiritual, tasawuf telah ada sejak adanya manusia, Usianya setua manusia. Semua nabi dan Rasul adalah Sufi, yang tidak lain adalah manusia sempurna ( insan kamil). Nabi Muhammad adalah Sufi terbesar karena beliau adalah manusia sempurna yang paling sempurna.
(c). Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Untuk melihat lebih jelas bagaimana perkembangan pemikiran tasawuf maka penulis mencoba mengemukakan secara ringkas sejarah perkembangan tasawuf dimulai abad pertama hijriah.
1. Abad pertama dan kedua Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya yang awal. Pada periode ini ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian kepada kehidupan materi seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih berkonsentrasi pada kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat. Jadi pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini adalah: dari kalangan sahabat, diantaranya Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari. Sedangkan dari kalangan tabi’in, diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar dan lain-lain .
2. Abad ketiga dan keempat Hijriyah
Jika pada tahap awal tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian sederhana, maka pada abad ketiga dan keempat hijriah para sufi mulai memperhatikan sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku sehingga tasawuf telah menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan.
Pada periode ini, tasawuf mulai berkembang dimana para sufi menaruh perhatian setidaknya kepada tiga hal yaitu jiwa, akhlak dan metafisika.
Diantara tokoh-tokoh pada abad ini adalah Ma’ruf al-Kharkhi, Abu Faidh Dzun Nun bin Ibrahim Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami, Junaid al-Baghdadi, Al-Hallaj dan lain-lain
3. Abad kelima Hijriyah
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali. Dengan tulisan momumentalnya tahafut al-falasifah dan ihya ‘ulum al-din. Al-Ghazali mengajukan kritik- kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat dan kepercayaan kebathinan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf dari teori-teori yang ganjil tersebut serta mengembalikannya kepada ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
4. Abad keenam dan ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori-teori yang tidak murni dari tasawuf dan juga tidak murni dari filsafat. Kedua-duanya menjadi satu. Tasawuf ini kemudian dikenal dengan tasawuf falsafi.
Diantara tokoh-tokoh terkemuka adalah Suhrawardi, Mahyuddin Ibn Arabi, Umar Ibn al-Faridh dan lain-lain.
5. Abad kedelapan Hijriyah dan seterusnya
Pada abad kedelapan Hijriyah, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini diantaranya karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang tasawuf, kegiatannya sudah terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu serta menfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktek ritual yang lebih berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari subtansi tasawuf.
Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi perkembangan pemikiran baru dalam tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh sufi yang mengemukakan pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Diantaranya adalah Al-Kisani dan Abdul Karim Al-Jilli
Di antara penyebab kemunduran mungkin adalah kebekuan pemikiran serta spritualitas yang kering melanda dunia Islam semenjak masa-masa akhir periode Dinasti Umayyah.

C. Praktek Tasawuf dan Pengkajiannya
Mungkin layak dikatakan bahwa praktek spritual (tasawuf) adalah inti ajaran sufisme. Sudut pandangan teori-teori dan metafisikanya telah dielaborasikan oleh para sufi tapi tentu saja kehidupan dalam sufi dapat kita jumpa dalam meditasi (dzikir), shalat, puasa dan praktek sehari-hari lainnya. Dalam faktanya, sebahagian besar sufi menetapkan beragam dan bermacam-macam praktek tasawuf. Praktek-praktek yang bersifat mediatif ini benar jika dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai “mengingat” nama-nama Allah.
Di dalam tasawuf akhlaqi untuk menghilangkan penghalang yang membatasi manusia dengan Tuhannya, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang beri nama: takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli adalah usaha membersihkan diri dari semua perilaku tercela, baik maksiat batin maupun maksiat lahir. Tahalli adalah tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela. Diantara sikap mental yang sangat penting untuk diisikan kedalam jiwa manusia adalah al-taubah, al-khauf wa raja’, al-zuhd, al-faqr, al-shabr dan lain. Tajalli, berarti tersingkapnya nur ghaib. Agar apa yang telah diupayakan pada langkah-langkah diatas langgeng, berkelanjutan dan terus meningkat, maka mesti rasa ketuhanan di dalam semua aktifitas akan melahirkan kecintaan dan kerinduan kepada- Nya.
Untuk melanggengkan rasa kedekatan dengan Tuhan ini, para sufi mengajarkan hal- hal berikut: Munajat, Muhasabah, Muqarabah, Kasrat al-Dzikir, Dzikir al-maut dan tafakur.
Hal ini juga dilakukan oleh beberapa tarekat walaupun dalam prakteknya berbeda seperti tarekat Naqsabandiyah. Adapun beberapa praktek tasawuf yang mereka lakukan adalah dzikir, rabithah, suluk 40 hari dan tidak makan daging.[16]

D. Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
Menurut Charles J Adams diantara banyak bidang kajian dalam studi Islam, tasawuf merupakan bidang yang menarik minat pada tahun belakangan. Studi tradisi Islam tidak dapat dilepaskan dari studi tentang mistis yang mungkin juga merupakan aspek yang muncul pada masa awal Islam bahkan pada masa kenabian. Adams menunjukkan beberapa sarjana yang tertarik mengkaji tasawuf, antara lain Annemarie Schimmel, dengan bukunya Mystical Dimensions of Islam. Hal terpenting dari pendapat Adam adalah untuk menstudi tasawuf dapat didekati dengan pendekatan fenonemologi.[17]
Pendekatan fenonemologi adalah pendekatan yang lebih memperhatikan pada pengalaman subjektif, individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap dirinya dan dunianya. Konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya.[18]
Sedangkan menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan tematik yaitu penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain, mahabbah, al-ma’rifah, al fana dan al-baqa, al- ittihad, al-hulul dan wahdatul wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari setiap topik tersebut dengan data-data yang didasari pada literatur kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya.
Kajian tasawuf yang dilakukan dengan pendekatan tematik akan terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Kajian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam garis besar saja.[19]

E. Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf
Adapun tokoh-tokoh dan karya utama yang termasuk kedalam kajian tasawuf di antaranya:
(a) Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ia dilahirkan di Thus pada tahun 450 H/1058 M. Karya utamanya adalah Ihya ‘Ulum al- Din, Tahafut al-Falasifah dan Al-Munaiz min al-Dhalal .
(b) Abu Thalib al-Makki (w. 386 H)
Abu Thalib al-Makki adalah seorang pengarang kitab shufi terbesar, bernama “Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub.[20]
(c) Al-Qusyairi (w. 465 M)
Nama lengkapnya adalah ‘abd al-Karim bin Hawazin al-Qusyairi. Karya utamanya:Risalah al-Qusyairiyah.[21]
(d) Al-Muhasibi (w. 857 M)
Nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri al-Muhasibi. Karya utamanya adalah Al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan.
(e) Ibn ‘Arabi (w. 1240 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah ath-Thai al- Haitami. Dia lahir pada tahun 560 H. Karya utamanya adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam . Di antara ajaran yang terpenting dari Ibn Arabi adalah Wahdatul wujud.
(f) Al-Jilli (w. 1403 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli. Ia lahir tahun 767 H di Jilan. Karya utamanya adalah Al-Insan al-Kamil fi Ma,rifah al-Awakhir wa al-Awail dan kitab Al-Kahf wa Raqim fi Syarh Bismillahi al-Rahman al-Rahim.
(g) Ar-Raniri
Nama lengkapnya Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji Al-Hamid Al-Syafi’i Al-Aydarusi al-Raniri. Karya utamanya: Al-Tibyan fi Ma,rifah al-Adyan fi al- Tashawwufh.
(h) Al-Palimbani
Nama lengkapnya Abd al-Shamad al-Palembani. Karya utamanya: Al-Urwatul al- Wusqa wa silsilah uli al-Tuqai.
(i) Hamka
Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Karya utamanya Tasawuf modern, perkembangan tasawuf dari abad keabad.

F.  Tujuan Ajaran Tasawuf
Tasawuf sebagai asfek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran akan adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat (qurb) dengan Tuhan. Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzuqiyah manusia dengan Tuhan.Komunikasi antara manusia dengan Tuhan sebenarnya sudah mulai terjalin ketika seseorang berada di alam rahim dalam kontak perjanjian primordial antara Tuhan dengan jiwa-jiwa manusia sebelum lahir, “ Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” Mereka menjawab, benar, kami mengakui (Engkau Tuhan kami). (QS. Al- A’raf: 7/172).  Namun setelah manusia itu lahir ke dunia ini, karena kelalaian manusia akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang hamba disebabkan kesibukan duniawi komunikasi itu terputus dan seyogyanya manusia harus berupaya menjalin komunikasi itu kembali untuk menuju hubungan yang harmonis dan intim dengan Allah swt. Pada hakikatnya setiap ruhani senantiasa rindu ingin kembali ketempat asalnya, selalu rindu kepada kekasihnya yang tunggal. Bilamana kelihatannya, dia lupa disebabkan perjuangan hidup duniawi, lupanya itu karena terpendam, sebab rindu itu, ada pada setiap insan individu, hati kecil selalu rindu ingin bertemu sang kekasih yakni Allah swt.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah ( taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus). Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi. Apabila jiwa sempurna dan suci, maka perbuatan tubuh akan baik. Begitu pula sebaliknya, dengan dihiasi akhlak yang diridhai oleh Allah.
Ibrahim bin Adham (w. 742) mengatakan, Tasawuf membawa manusia hidup menurut tata aturan kehidupan yang sebenarnya sesuai dengan konsep al-Qur’an dan al-Sunnah sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. seperti hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, syukur, tawadhu, hidup dengan melakukan sesuatu pada tempatnya.
Di kalangan para Sufi mendekatkan diri kepada Allah dapat ditempuh dengan berbagai maca cara melewati stasiun- stasiun atau maqamat-maqamat tertentu seperti zuhud, wara’, taubat, raja’, khauf, sabar dan seterusnya sampai pada puncaknya ke tingkat ma’rifat, bahkan sampai fana, bersatu dan menyatu dengan Tuhan ( ittihad) dan itulah kenikmatan tertinggi yang di alami dan dirasakan para Sufi yang tidak dapat dilukiskan dan di gambarkan dengan kata-kata ataupun simbol- simbol.Kendatipun pengalaman spiritual itu dicoba untuk dijelaskan dengan kata-kata atau apapun bentuknya, itu tidak akan sama persis dengan apa yang dialami oleh yang menceritakan ( Sufi).
Pengalaman spiritual seorang Sufi kalau dianalogikan tak obahnya bagaikan rasa mangga, bagaimanapun seseorang menjelaskan rasa magga kepada orang lain tetapi kalau seseorang tersebut belum pernah mencicipi rasa mangga, dapat dipastikan bahwa ia tidak akan paham dan mengerti bagaimana rasanya mangga yang sesungguhnya. Dengan kata lain pengalaman spiritual para Sufi itu dapat dirasakan tetapi tidak dapat diungkapkan. Biasanya beberapa model ungkapan verbal yang dipilih para Sufi dalam menyampaikan pengalaman spiritualnya, yang paling popular adalah penggunaan ungkapan-ungkapan yang bernada puitis, berbentuk humor dan kisah-kisah. Sehingga dengan demikian pesan-pesan, nasehat-nasehat yang mereka tuliskan dapat ditafsirkan para pembaca sesuai dengan kemampuan daya nalar mereka dalam menangkap pesan yang terkandung dibalik teks tersebut.

G.  Hubungan Ilmu Tasawuf Dengan Filsafat.
Al-Kindi, sebagaimana yang dikutip oleh Irfan Abdul Hamid, mendefinisikan filsafat sebagai berikut: “Mengetahui sesuatu dengan hakikatnya sebatas kemampuan manusia karena tujuan filosof di dalam ilmunya sampai kepada kebenaran dan didalam amalnya sebagai amal yang benar”.
Dari pengertian ini dapat dillihat bahwa filsafat berkonsentrasi pada pencarian hakikat sesuatu yang dapat mengantar kepada ilmu dan amal yang benar. Pencarian kebenaran dalam filsafat adalah dengan pendekatan kefilsafatan yaitu dengan pengerahan rasional. Di antara objek bahasahan filsafat adalah jiwa dan roh.
Ilmu tasawuf di sisi lain juga berupaya untuk sampai kepada kebenaran mutlak tetapi pendekatan yang digunakan lebih kepada zauq (rasa) dengan jalan riyadhah (latihan- latihan) pembersihan jiwa untuk dapat dekat dengan kebenaran mutlak (Allah). Di antara objek kajian tasawuf juga adalah jiwa dan roh kendati lebih sering menggunakan istilah qalb.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, filsafat telah memberikan sumbangan dalam dunia tasawuf. Kajian-kajian filsafat tentang jiwa dan roh ini banyak dikembangkan dalam tasawuf khususnya tasawuf falsafi.[22]

H.  Perkembangan Mutakhir Studi Tasawuf
Sesungguhnya tasawuf sampai dekade terakhir ini masih belum terhitung sebagai lapangan tertutup untuk studi-studi akademi. Maka sejak penghujung abad XIX, tasawuf telah menjadi suatu kajian berbagai studi ilmiah yang tidak terbatas hanya bagi para peneliti muslim, tetapi lebih dari itu para peneliti non muslim pun para orientalis mengkajinya, tersebutlah nama-nama terkenal dalam literatur tasawuf Islam seperti Annemerie Schimel, Tholouck, Arberry, Norman Daniel, Nicholson, Goldziher dan lain-lain.
Tasawuf Islam sepanjang sejarah telah menyerang pendapat para pemikir dari ahli ketimuran dan kebaratan, sekaligus menarik mereka dengan segala kekuatan sehingga mereka merasa kagum terhadap apa saja yang tergantung dalam tasawuf Islam itu sendiri, baik dari segi nilai maupun keasliannya. Meskipun eksistensi tasawuf dalam Islam semakin meningkat menjadi bagian studi keilmuwan khususnya dekade kekinian tetapi pendapat yang jelas mengenai berbagai permasalahan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif yang dihasilkan dari berbagai studi keilmiahan tersebut. Bukan datang tasawuf atau sufi itu sendiri.
Perkembangan mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman dengan konsep neo sufisme. Di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat.[23]

I. Signifikansi Tasawuf di Era Modern
Peradaban moderen yang bermula di Barat sejak abad XVII merupakan awal kemenangan supermasi rasionalisme dan emperisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad moderen Barat cenderung memisahkan ilmu pengetahuan, filsafat dari agama yang kemudian dikenal dengan jargon sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme dan emperisme dalam satu paket epistimologi melahirkan metode ilmiah ( scientific method).
Penemuan metode ilmiah yang berwatak emperis dan rasional secara menakjubkan membawa perkembangan sains yang luar biasa canggihnya sehingga melahirkan kemudahan, disamping melahirkan kehidupan dan paradigma pemikiran baru. Fenomena serba mudah dan baru ini merupakan wujud akselarasi dari pemikiran filsafat Barat modern. Filsafat Barat modern memandang manusia bebas dari segala kekuatan di luarnya, dan kebebasan itu terjadi lewat pengetahuan rasional. Manusia seolah digiring untuk memikirkan dunia an-sichsehingga Tuhan, surga, neraka dan persolan-persolan eskatologis tidak lagi menjadi pusat pemikiran.
Konsep sains Barat di era moderen yang dikemukakan di atas sangat berbeda dengan konsep sains dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Sayyid Husein Nasr, bahwa ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam berdasarkan gagasan tentang tauhid, yang menjadi inti dari al-qur’an. Dengan demikian menurut Sayyid Husein Nasr seluruh ilmu pengetahuan, sains dan seni dalam Islam dengan berbagai keragamannya tidak terlepas dari keesaan Tuhan, dalam kerangka ini, sains yang dapat disebut Islami adalah sains yang mengungkapkan “ketauhidan alam”.
Peradaban, ilmu pengetahuan, dan sains dalam Islam tidak terlepas dari sentuhan nilai-nilai spiritual, karena ilmu pengetahuan dan sains dalam Islam harus mampu menghantarkan seseorang untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah melalui pemahaman, pengamatan, riset dan penelitian yang dilakukan terhadap ayat-ayatkauniyah yang tersebar diseluruh penjuru alam, sebab antara ayat qauliyah dan kauniyah selalu berkorelasi. Hal itu akan lebih jelas bila dilihat dari segi kecerdasan sufistik. Kecerdasan sufistik dapat dilihat dalam konsep tasawuf, seperti ilmu, tafakur, ma’rifat, dan ma’rifat israqiyah. Bahwa yang dimaksud ilmu adalah semua pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun umum. Semua pengetahuan itu harus bermanfaat untuk mengenal ciptaan, keagungan dan kebesaran Allah, sehingga kemudian mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Apresiasi yang tinggi pantas diberikan terhadap tasawufkarena sumbangan-sumbangannya yang sangat bernilai bagi perkembangan peradaban Islam. Sumbangan itu dapat dilihat dalam berbagai bidang seperti filsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern.

J- Penutup
Tasawuf adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentang kehidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan Allah. Sufi adalah orang yang menjalankan tasawuf. Sedangkan tarekat adalah  jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk dapat dekat kepada Allah. Thariqah juga mengandung pengertian organisasi.
Para ahli sejarah tasawuf menilai bahwa timbulnya tasawuf tidak terlepas dari kondisi kehidupan masyarakat-terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana.
Tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah walaupun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh unsur asing. Tasawuf telah berkembang sejak akhir abad ke dua Hijriah walaupun pada abad pertama hijriyah telah kelihatan dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) yang dipraktekkan Rasulullah dan para sahabat.
Berbagai variasi praktek yang dilakukan para sufi dalam tasawuf seperti tarekat Naqsabandy yaitu dengan melakukan dzikir, suluk 40 hari, Rabithah dan tidak makan daging dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tujuan akhir mempelajari ajaran tasawuf adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah ( taqarrub ila Allah) dalam rangka mencapai ridha-Nya, dengan mujahadah malalui latihan (riyadhah) spiritual dan pembersihan jiwa, atau hati (tazkiyah al-anfus).
Menurut Adams pendekatan utama dalam kajian tasawuf adalah dengan pendekatan fenonemologi sedangkan menurut Harun Nasution kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan tematik.
Tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf diantaranya adalah Imam Al-Ghazali dengan karya momentalnya Ihya ‘Ulum al-Din, Ibnu Arabi dengan karyanya Al-Futuhat al- Makkiyah dan Fushush al-Hikam dan lain-lain yang telah disebutkan sebelumnya.
Perkembangan mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman dengan konsep neo sufisme. Di Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya “Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

CATATAN KAKI


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 235.

[2] Abul ‘Alaa ‘Afify, Fil al-Tashawwuf al-Islam wa Tarikhihi, (Iskandariyah: Lajnah al-Ta’lif wa al- Tarjamah wa al-Nasyr, tt.), h,66.

[3] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), cet.2, h.2

[4] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf……. h.3

[5] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.57.

[6]Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut: Dar al-Fikri, t.t), h.370-371

[7] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), jilid 4, h. 139

[8] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf: Sejarah, Pemikiran dan Konstektualitas, h.121.7

[9] Q.S. Al-Anbiya : 25

[10] Q.S. Al-Anfal : 45

[11] Q.S Fathir : 5

[12] HR.Bukhari

[13]HR. Bukhari dan Muslim

[14] Muhammad Abdullah asy-Syarkawi, Sufisme dan akal, terj. Halid Alkaf, (Bandung:Pustaka Hidayah,2003), h.29.

[15] Ensiklopedi Tematis…., h. 146

[16] Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h.105

[17] Luluk Fikry Zuhriyah, Metode dan Pendekatan dalam studi Islam, http://Elfikry.blogspot.com.

[18]Id.Wikipedia. Org/ wiki/psikologi

[19] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf…..h.244

[20] Labib Mz, Memahami ajaran tasawwuf, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001). h.74

[21] M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, h.84

[22] M. Jamil, Cakrawala tasawuf…h.75

[23] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000). h.248

Tidak ada komentar:

Posting Komentar