Minggu, 18 Agustus 2019

BUKAN SALAH RAHWANA MENCINTAI SHINTA

BUKAN SALAH RAHWANA MENCINTAI SHINTA

Lima puluh tahun aku bersembunyi di gunung yang terlampau sunyi, tak tahu apa pun yang terjadi di bawah sana.

Atau mungkin justru itulah pangkalnya. Aku terlampau lama bertapa dan belum sepenuhnya siap menjelajahi dunia ketika tiba-tiba mataku terkesima oleh sebuah cahaya yang memancar dari wajah jelita. Sangat jelita. Aku yakin, wajah ibuku yang pernah menggemparkan tak kan ada sepersepuluhnya.

Orang memanggilnya Sinta.

Benar, dia wanita yang didamba siapa saja. Salahkah kalau aku juga memendam cinta?

Ya, cinta.

Inilah mungkin yang menjadi pangkal bencana sehingga aku kemudian dikenal sebagai sang angkara.

Padahal, hanya satu kesalahannya: dia sudah menjadi milik Rama. Dan satu kesalahanku: aku dibakar cinta.

Tapi aku memang berhasrat memilikinya. Aku tak peduli apa pun caranya. Sinta harus menjadi bunga Alengka, seperti ibuku dulu menjadi bunga yang memancarkan keindahannya ke seantero dunia.

O, putri Mantili, mungkin aku menyesal karena sayembara itu terjadi ketika aku masih mesu diri di Gohkarna sehingga seakan-akan hanya ada satu orang yang mampu mengangkat dan mementangkan Gendewa. Tapi tak apalah. Aku yakin bahwa aku belum terlambat untuk memilikinya. Ayodya hanyalah sepetak tanah kecil dibanding Alengka dan negeri-negeri lain yang sudah kutaklukkan seperti Maespati dan Lokapala, dan bagiku Rama terlampau lemah lembut meski kabar sampai juga kepadaku bahwa ia Sang Wisnuputra.

Aku memang menculik Sinta ketika sang jelita justru ditinggal Rama yang terkecoh oleh sebuah permainan sederhana. Lagi pula, untuk apa dewi secantik dia harus menderita di rimba raya?

Kalian tahu, Sinta kutempatkan di bagian istana Alengka yang paling indah. Dan kalian tahu, aku tak pernah menjamahnya meskipun bisa saja kalau hanya kuturuti nafsu belaka.

Aku menawarkan cinta.

Lebih besar daripada yang sudah diberikan Rama.

Ah, Sinta, betapa besarnya cintaku, melebihi apa pun di dunia. Aku rela mempersembahkan apa pun yang kau minta, walaupun harus memindahkan istana Maharaja Suralaya.

Oh, tak pantaskah aku memendam cinta yang membara?

Tak pantaskah raksasa buruk rupa mencinta wanita yang jelita? Bukan salahku terlahir dengan wajah yang buruk tak terkira. Dan bukan salah Sinta, tentu saja, dikaruniai keindahan luar biasa. Dan apakah aku salah memiliki cinta? Bukankah cinta tumbuh begitu saja, tanpa pernah ada rencana?

Kuhadapi segala tantangan, kutaklukkan segala rintangan, meskipun harus pecah perang yang tak pernah kukira. Perang besar yang menghanguskan separo jagat.

Semua demi cinta.

Dan aku bangga karenanya. Kuhadapi semua bukan demi kemasyhuran atau nama besar. Aku merasa apa yang sudah kumiliki sebelumnya lebih besar daripada sekadar kemasyhuran. Aku lebih perkasa dari siapa pun. Aku lebih digdaya dari semuanya. Aku raja dari segala maharaja.

Hanya satu yang belum kuraih.

Dicinta.

Aku memiliki dan dengan sepenuh hati kuberikan cinta. Karena itu kudambakan juga cinta dari orang yang kucinta. Bukankah itu wajar? Aku mencinta dan aku ingin dicinta. Bukan oleh siapa saja, melainkan oleh Sinta.

Ah, Sinta.

Sayang, demi cinta, aku harus menghadapi nyaris seluruh dunia, bahkan Suralaya. Hanya dibantu rakyatku serta satu adikku, juga anakku, aku menghadapi Rama yang didukung para raja perkasa, bahkan juga salah satu adik kandungku sendiri. Aku, manusia yang meraih taraf kedigdayaan melalui upayaku sendiri, berhadapan dengan lelananging jagat yang memang sudah ditakdirkan untuk menandaskan segala jenis angkara, mendapat bantuan dari para raja, juga resi dan brahmana, serta satria anak-anak dewa, dan bahkan mendapat lindungan dari para dewa sendiri.

Aku bangga. Rakyatku telah bertarung dengan gagah perkasa. Anakku maju dengan dada yang penuh gelora. Adikku pun berlaga dan kemudian perlaya menjadi bunga negeri.

Dan aku maju menadahkan dada dan muka demi keyakinan yang tak juga goyah.

Cinta.

Kuhadapi Rama meski aku tahu bahwa sudah tercatat di garis takdir aku akan perlaya di ujung Guwawijaya.

Hanya saja, sebelum aku melepas nyawa, ketahuilah bahwa tak ada warna putih di atas dunia. Bahkan para dewa, serta maharaja para dewa, menggambar lembar-lembar hidupnya juga dengan goresan nafsu kelabu. Bagaimana mungkin Sang Manikmaya terpikat oleh sang istri di punggung Lembu Andini? Kenapa para dewa juga bisa tergoda oleh wanita-wanita arcapada?

Pahamilah bahwa sang lelananging jagat pun bukanlah satria sempurna. Ia lebih suka mementingkan diri sehingga sang istri dan ayah sendiri tak tahan lagi. Bukankah Dasarata tewas karena kesedihan tak tertahankan oleh kepergiannya ke hutan? Bukankah Rama sendiri tega meninggalkan sang istri demi mengejar sebuah bayang-bayang yang tak nyata? Dan kesalahan yang paling besar, bukankah ia mencurigai sang dewi telah ternoda oleh tangan kasarku sehingga harus menghadapi hukuman tak terkira: terjun ke dalam kobaran api?

Tiap detik, aku memang selalu membayangkan tubuh Sinta seperti membayangkan getaran kepundan Gunung Gohkarna. Namun, aku tak pernah menjamahnya karena aku berharap sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar semburan magma. Yakni cinta.

Karena itu, biarlah aku mati dengan rasa puas di hati. Bahwa sebenarnya keangkaraanku yang terang-terangan tidaklah seberapa dibanding ribuan angkara yang bersaput wajah Brahmana. Aku yakin, angkara yang demikian jauh lebih berbahaya dibanding sekadar angkara seorang Rahwana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar