Minggu, 03 Juli 2011

SEKEDAR APRESIASI DAN REFLEKSI ATAS TRADISI JANGJAWOKAN

Menelusuri tradisi masa lampau tentunya hanya akan membawa kita pada serakan jejak-jejak yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu kita. Jejak-jejak itulah yang lantas kita interpretasikan sedemikian rupa sehingga seolah menghasilkan pengetahuan baru dalam bangunan epistemology kita. Secara tak sadar jejak-jejak ini pula yang menghantarkan kita pada kehidupan dari tradisi lama yang telah lama kita tinggalkan karena gerak dialektika peradaban dan zaman telah berubah dari alam tradisi lama berganti menjadi hipotesa baru dalam tataran realitas dunia keseharian kita.

Problematika keseharian inilah yang nampaknya mulai dirasakan oleh para akademisi yang bergerak dalam bidang pengkajian budaya. Kebudayaan kita yang telah lama kita tinggalkan seolah telah menjadi hantu dalam lautan dimensi imaji kreatif kita saat ini. Kebudayaan lama kini telah merefresentasikan dirinya dalam nilai-nilai klasik yang tak bisa tergantikan oleh apapun juga. Nilai klasik hari ini adalah sebuah nilai yang memiliki karakteristik yang tak bisa disederhanakan oleh pikiran kita. Sehingga dikarenakan oleh nilai klasik itulah sebuah paradigma baru yang mengajak kita kembali pada tradisi budaya lama coba kita galakan.

Sejalan dengan hal itu, tradisi sunda buhun yang memiliki nilai klasik nampaknya adalah salah satu bagian dari sebuah tatanan nilai lama yang sekarang coba dikaji kembali dan menjadi salah satu tren dalam pengkajian budaya-budaya klasik. Nilai-nilai epistemologis, axiologis maupun ontologis dari tradisi sunda buhun merupakan sebuah kajian yang juga banyak memberikan sebuah kesadaran pengetahuan baru bagi kita saat ini.

Dalam tradisi sunda buhun, banyak dikenal sistem-sistem nilai maupun kegiatan yang sengaja dihadirkan sebagai sebuah metodologi untuk dapat mengkaji, memahami serta menjalani hidup dalam semesta raya ini. Nilai-nilai ini dihadirkan untuk mengkonstruk alam kehidupan masyarakat sunda dalam area public sphere masyarakat sunda kala itu. Selain itu nilai-nilai ini juga dihadirkan sebagai wujud dari manifestasi serta gerak perkembangan alam pikiran sunda.

Sebagai sebuah contoh dari traces sunda buhun yang memiliki nilai klasik adalah jangjawokan. Jangjawokan ini merupakan sebuah bagian dari konsep epistemologi sunda buhun untuk direfresentasikan dalam tingkatan ontologis masyarakat sunda. Dalam jangjawokan kita bisa melihat bagaimana konstruksi pikiran tradisional sunda dibangun dari nilai epistemologis yang bersandar pada kepasrahan yang lantas mengafirmasi kekuatan yang hadir dari sang pencipta. Nilai inilah yang lantas diterjemahkan dalam perilaku serta pola pikir masyarakat sunda buhun dalam menghadapi realitas. Atau dalam bahasa yang lebih sedehana, jangjawokan bisa kita maknai sebagai konsepsi do’a yang lahir sebagai wujud refleksi spiritual atas semesta raya yang selalu dihadapi dalam dunia keseharian. Refleksi inilah yang lantas mengantarkan alam pikiran sunda pada sebuah idea tentang manusia kosmos yang selalu mengaitkan diri Deinya.

Pada perkembangan selanjutnya, jangjawokan yang notabene lahir pada masyarakat sunda buhun pra-Islam coba diakulturasikan dengan alam pikiran Islam, yaitu dengan menambahkan penggunaan lafadz Basmallah pada awal teks jangjawokan dengan lafadz Laa Ilaaha Illa Allah pada akhir teks. Dari sisi ini kita bisa melihat bagaimana dua konsep yang memiliki nilai epistemologis yang bersandar pada spiritualitas semakin erat dipadankan untuk dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan. Sehingga dari sini saya melihat bahwa pertemuan dua unsur epistemologis yang memiliki karakter spirituil inilah yang selalu menjadikan manusia sunda adalah manusia yang selalu menyandarkan segalanya pada kehendak yang kuasa dalam setiap urusannya.

Pada konteks lain, jangjawokan yang bersandarkan pada nilai spiritual ini disisi lain berguna juga sebagai alat penjagaan diri yang sifatnya memberikan perlindungan terhadap orang yang memiliki atau mengamalkan jangjawokan tersebut. Akan tetapi tetap saja mekanisme penjagaan diri ini lahir berdasarkan pada nilai spiritual yang menekankan pentingnya unsur pengendalian diri yang bukan hanya bersandarkan pada kehendak naluriah tetapi juga pada kehendak aqliyyah yang bertujuan untuk dapat merefleksikan kembali nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sehingga berdasarkan atas asumsi ini, saya beranggapan bahwa pada hal ini jangjawokan juga masih tetap mengedepankan tradisi akal dalam proses pelaksanaannya. Dari sinilah sebenarnya makna jangjawokan harus kembali kita dalami dengan sebuah tujuan merefleksikan otentisitas nilai jangjawokan yang selama ini kita pelajari dan amalkan.

Sehingga dari prosesi semacam ini, kajian ilmiah terhadap tradisi lama bukanlah hanya menghasilkan sebuah pengetahuan lama dengan paradigma yang lama akan tetapi menghasilkan pengetahuan baru dengan paradigma yang baru pula, dan semoga saja pengkajian ini bukan terjebak dalam romantisisme masa lampau yang membuat kita tidak lantas produktif akan tetapi harus menjadikan kita lebih bijak menghadapi realitas dunia keseharian kita di masa yang akan datang. Semoga…     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar