Sabtu, 16 Juli 2011

STASIUN-STASIUN KEHIDUPAN MANUSIA

STASIUN-STASIUN KEHIDUPAN MANUSIA

Mengenai asal mula dan tujuan mengapa manusia dijadikan beserta tahap-tahap kehidupannya, paham Jawa khususnya Islam Kejawen meyakini adanya 5 (lima) tahapan atau stasiun pengembaraan manusia. Stasiun Pertama adalah Stasiun Kota Asal yang disebut Alam Ruh. Di stasiun ini semua ruh yang belum memperoleh tugas dari Gusti Allah dikumpulkan. Jika Allah Yang Maha Kuasa berkenan untuk menugaskan satu ruh untuk turun ke bumi, maka diperintahkan dewa atau malaikat meniupkan ruh ke dalam janin di rahim seorang ibu yang merupakan Stasiun Kedua.
Pada periode peniupan ini dibuat perjanjian antara ruh dengan Gusti Allah tentang keesaan Tuhan (Sang Hyang Tunggal), tentang kemahakuasaan Allah (Sang Hyang Wenang), tentang kebaikan dan keburukan, tentang tugas-tugas di dunia dan alam raya, yaitu “memayu hayuning bawono” atau melestarikan (sekaligus mengandung pengertian menebarkan kebahagiaan) alam semesta dan segenap isinya.
Bagaikan sebuah pertunjukkan sandiwara, Sang Dalang Maha Sutradara memberikan briefing mengenai peran yang akan dilakonkan oleh ruh, dan semua itu dituliskan dalam sebuah kitab yang dijaga ketat oleh para malaikat balatentara Allah. Dalam cerita wayang dijaga oleh para dewa yang dipimpin Betara Indra.
Dalam kehidupan di dunia, manusia diijinkan berikhtiar, namun harus tetap ingat 5 hal yang sudah digariskan Gusti Allah yaitu:
1.   jodoh
2.   anak-anak
3.   kematian
4.   derajat
5.   harta benda.
Kelahiran Sang Jabang Bayi membawa ruh memasuki Stasiun Ketiga, yakni kehidupan manusia di dunia. Kehidupan dunia inilah yang diandaikan dengan singgah sejenak untuk istirahat minum. Singgah sejenak dari suatu perjalanan panjang, dari stasiun Pertama ke Stasiun Kelima.
Dalam istirahat sejenak inilah manusia diuji apakah taat dan teguh pada perjanjian, serta menjalankan peran sesuai yang digariskan dalam skenario Pangeran Yang Maha Agung. Untuk itu seperti dalam kisah-kisah pengembaraan seorang ksatria di cerita pewayangan, Gusti Allah memberikan mandat dan kuasa kepada jin–setan–peri perayangan, kepada para raksasa jahat buat menggoda. Menciptakan hawa nafsu serta pesona dunia guna menguji apakah manusia goyah atau tidak. Apakah kita benar-benar memainkan peran dengan baik selaku utusan-Nya, ataukah lalai berasyik masyuk dengan bujuk rayu setan, terlena oleh buaian hawa nafsu, tenggelam dalam gemerlap dunia nan mempesona? Asyik sendiri dengan godaan harta, tahta kekuasaan dan sang rupawan?
Adakah tatkala di Stasiun Ketiga, kita tetap khusyuk menghayati peran kita? Tetap eling, tetap mengingat perjanjian kita dengan Gusti Allah Sang Maha Sutradara? Adakah kita menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, keharmonisan dan kelestarian Stasiun Ketiga yang kita singgahi? Ataukah kita mengotori, merusak dan menimbulkan kegaduhan?
Adakah kita melestarikan dan menegakkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, ataukah justru menghancurkannya, membabat porak-porandakan hutan, mengaduk bumi, menggempur gunung sesuka kita, membunuh sesama makhluk, merusak berbagai ciptaan Tuhan untuk memuaskan dahaga angkara murka dan keserakahan?
Sangkan paraning dumadi harus dapat senantiasa mengingatkan, bahwa kita lahir ke dunia sebagai bayi nan suci dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Demikian pula tatkala meninggal dunia, kita hanya di bungkus dengan selembar kain putih, tidak lebih. Lantas untuk apa serakah menumpuk harta benda dengan mengorbankan tata nilai, etika, persahabatan dan merusak alam semesta yang seharusnya kita rawat dan jaga? Takut anak keturunan menjadi miskin? Toh hal itu sudah digariskan oleh Gusti Allah. Mereka anak kita tapi bukan milik kita. Mereka akan berkiprah sesuai skenario kehidupan yang sudah digariskan oleh Sang Dalang, Sutradara Yang Maha Agung, Allah Swt. dan bukan sesuai skenario kita. Kewajiban kita hanyalah merawat, membesarkan, membimbing dan mendidik mereka.
Kematian membawa kita, yaitu hasil sinergi ruh dan tubuh memasuki Stasiun Keempat di Alam Kubur. Di sini jiwa kita boleh istirahat lagi sejenak sambil menunggu pengadilan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar