Sabtu, 16 Juli 2011

SANGHYANG TUNGGAL



SANG HYANG TUNGGAL




Sang Hyang Tunggal adalah putera dari Sang Hyang Wenang yang dilahirkan oleh Dewi Saoti. Setelah dewasa, tak berbeda dengan sang ayah Sang Hyang Tunggal pun gemar berkelana dan melakukan puja semedi, bertapa ditempat-tempat yang keramat pula angker, dipuncak gunung yang teramat sunyi senyap atau didalam gua-gua yang yang teramat gelap.

Menurut laying Paramayoga, Sang Hyang Tunggal bertahta sebagai Raja di Kerajaan Keling, merajai para bangsa jin. Permaisurinya adalah saudara sepupunya sendiri, yang bernama Dewi Dermani, putrid dari Sang Hyang Wening atau Sang Hyang Darmajaka. Dari Dewi Dermani, Sang Hyang Tunggal berputra tiga, yaitu: Sang Hyang Darmadewa atau Sang Hyang Rudra, Sang Hyang Darmastuti dan Sang Hyang Dewanjali.

Setelah mempunyai tiga putra, Sang Hyang tunggal mempelajari isi Pustakadarya, dengan demikian Sang Hyang Tunggal pun mengetahui bahwa sang kakek, Sang Hyang Nurcahya sesungguhnya pada awalnya adalah man usia biasa berbadan jasmani. Juga mengetahui bahwa anak cucu Nabi Adam adalah kekasih Gusti Allah dan merajai dunia. Sang Hyang Tunggal merasa kecewa jika anak cucunya tak dapat menguasai dunia. Maka dari itu Sang Hyang Tunggal tumbuh keinginannya untuk dapat memiliki putra yang berbadan jasmani layaknya manusia namun juga dapat berbadan rohani, yang artinya dapat menghilang tak kasat mata oleh yang lain agar dapat menguasai Triloka, menguasai tiga dunia, yaitu dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Artinya, dunia tengah adalah Marcapada, alam yang dihuni para manusia biasa yang berbadan jasmani, sedangkan dunia atas dan dunia bawah adalah Alam Adam-Makdum, laying Jatipsara menyebutnya dengan sebutan jagad Sunyaruri, yaitu alamnya para bangsa jin dan semua bangsa yang berbadan rokhani atau gaib.

Setelah itu Sang Hyang Tunggal lengser keprabon (turun tahta) kepada putra sulungnya Sang Hyang Darmadewa yang juga bernama Sang Hyang Rudra. Lalu Sang Hyang Tunggal pergi dari istana ketempat yang sangat sepi, memohon kepada Hyang Maha Agung agar keinginannya dapat terlaksana. Setelah bersemedi beberapa tahun lamanya, Sang Hyang Tunggal mendapatkan jawaban atas permohonannya; Seorang raja dari bangsa jin bernama Sang Hyang Yuyut datang kehadapan Sang Hyang Tunggal untuk menyerahkan putrinya yang bernama Dewi Rakti. Sang Hyang Tunggal menerima dewi Rakti dengan senang hati.

Setelah diperistri Sang Hyang Tunggal beberapa lamanya, Dewi Rakti pun melahirkan putra yang tak berwujud seorang jabang bayi, namun berwujud layaknya batu mulia sebesar Antiga (telur), bercahaya begitu menyilaukan. Ketika hendak dipegang oleh Sang Hyang Tunggal, batu mulia tersebut hilang seketika. Karena begitu kecewanya atas apa yang terjadi, Sang Hyang Tunggal pun merasa gerasm. Maka darri itu Sang Hyang Tunggal kambali bersemedi untuk meemastikan apa sebenarnya kehendak Yang Maha Kuasa. Belum begitu lama bersemedi, Sang Hyang Tunggal kedatangan sang ayah, yaitu Sang Hyang Wenang, memberikan pelajaran mengenai semua Guna Kasantikan. Setelah menerima segala kesaktian yang diberikan Sang Hyang Wenang memberikan pula segala macam senjata kedewaan, yaitu : Retna Dumilah, Lata Mahosandi dsb, kepada Sang Hyang Tunggal. Setelah semua senjata tersebut diterima, Sang Hyang Wenang kemudian manunggal pada diri Sang Hyang Tunggal seperti yang dilakukan duu dengan Sang Hyang Nurrasa. Tak berapa lama setelahnya tampak seberkas sinar dari langit menuju tempat dimana Sang Hyang Tunggal berada. Seberkas sinar tersebut diterima oleh Sang Hyang Tunggal, kemudian dipuja dan berubah menjadi dua orang wujud manusia pria, sama-sama berbadan jasmani selayaknya manusia biasa di Marcapada. Pria yang satu bercahaya hitam, sedangkan yang lain bercahaya putih. Setelah itu Sang Hyang Tunggal pun musnah.

Dikisahkan setelah dua pria tersebut beranjak dewasa, mereka merasa bingung karena sama-sama tak mengetahui asal usul diri mereka dan tak mengetahui siapa orang tua mereka.pada saat dua pria tersebut kebingungan memikirkan asal usul mereka, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa wujud, berbunyi : “hai kalian berdua, ketahuilah! Aku dapat mengetahui apa sedang kalian bingungkan, maka dari itu aku akan memberitahukan kepada kalian”

Saat mendengar suara tersebut, keduanya merasa sangat terkejut sekaligus takut dan heran. Mereka mengira bahwa suara tersebut adalah suara sang pencipta, hingga dengan segera mereka langsung bersujud seraya berbicara, “Duh sang penguasa alam, hamba berdua memang nyata adalah titah Paduka”

Suara tanpa wujud : “Ketahilah! Aku adalah Sang Hyang Tunggal. Memang benar jika kalian berdua adalah titahku, tetapi sebenarnya kalian berdua adalah putraku. Engkau yang bercahaya hitam, adalah saudara tua dan aku berikan nama Sang Hyang Ismaya, sedangkan engjkau yang bercahaya putih adalah saudara yang muda, kuberikan nama padamu Sang Hyang Maknikmaya”

“Wahai kedua putraku! Saksikanlah bahwa diriku ini adalah keberadaan kalian, dan kalian berdua adalah keberadaanku. Adanya sesembahanmu adalah berada padaku. Dimanapun engkau menghadap, disanalah aku berada. Sedangkan dirikupun ada yang menyandang. Yang menyandangku adalah yang kusandang”.

Setelah mendengar ucapan demikian itu, Bathara Ismaya dan Bathara Manikmaya melakukan sembah sujud kesegala penjuru. Namun arah penjuru sembah sujud Bathara Ismaya sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan Sang Hyang Manikmaya. Bathara Ismaya melakukan sembah sujud dengan menghadap ke 10 Keblat (penjuru), yaitu : Purwa (timur), Nurwitri (barat laut), Untara (utara), Narasunya (timur laut), Pracima (barat), Byabya (tenggara), Raksira (selatan), Kaneya (barat daya), Gegana (keatas), Patala (kebawah).

Bathara Manikmaya hanya menghadap ke 9 keblat, yaitu : Purwa (timur), Nurwitri (barat laut), Untara (utara), Narasunya (timur laut), Pracima (barat), Byabya (tenggara), Raksira (selatan), Kaneya (barat daya) dan Madya (ditengah, menghadap ditempat dirinya berada).

Karena ada perbedaan jumlah penjuru arah sembah sujud mereka, Bathara Ismaya bertanya mengapa Bathara Manikmaya tak melakukan sembah sujud menghadap keatas dan kebawah. Bathara Manikmaya menjelaskan bahwa kedua arah tersebut telah terkandung dalam arah Madya. *)

Karena adanya perbedaan tersebut maka terjadi perdebatan diantara keduanya membenarkan pendapat masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara Sang Hyang Tunggal sebagai berikut : “Hai kedua putraku! Tenanglah, jangan teruskan perdebsatan kalian. Sebenarnya kalian berdua sama-sama benar. Ketahuilah, bahwa jumlah penjuru sembah sujud kalian berdua tadi menjadi sebuah pertanda. Bahwa dikemudian hari si Ismaya akan berputra sepuluh sebagaimana jumlah arah penjuru sujudnya, begitu pula si Manikmaya akan ditakdirkan mempunyai sembilan putra, karena dirinya menghadap ke sembilan kebat”

Kedua putra tersebut pun kembali bersujud, namun Bathara Ismaya kemudian bertanya: “Duh Yang Menguasai Semesta, engkau mamastikan bahwa hamba akan berputra sepuluh, sedangkan hamba tak memiliki pendamping, siapakah yang akan sudi dengan wujud jasad hamba. Dikarenakan engkau menitahkan hamba kedunia dengan wujud buruk rupa dan ditambah cahaya kelabu, berbeda dengan Manikmaya yang rupawan serta bercahaya gemilang, pasti tak akan lama untuk mendapatkan seorang jodoh”

Sang Hyang Tunggal : “O putraku Ismaya ! jangan sekali-kali kau mengira bahwa taka ada wanita yang berkenan untuk menjadi pendampingmu. Ketahuilah, semua yang ada di jagad raya ini memiliki pasangan, seperti : dingin dan panas, buruk dan baik, pria dan wanita dan lain sebagainya. Lagi pula janganlah engkau bersedih atas wujudmu yang buruk rupa, itu memang sudah menjadi kehendak takdir. Ketahuilah, cahayamu yang berwarna hitam itu adalah pertanda bahwa keberadaanmu itu akan abadi selama-lamanya”
Mendengar ungkapan Sang Hyang Tunggal yang demikian itu, Bathara Ismaya segera bersujud dan memohon ampun karena merasa bersalah. Sang Hyang tunggal pun mengeluarkan pusaka Retna Dumilah diusapkan keubun-ubun Bathara Ismaya, seketika sinar cahayanya yang hitam sirnah dan berganti cahaya menyilaukan diseluruh tubuhnhya.

“Eee putraku Ismaya, kini cahayamu telah berubah menyilaukan selayak sinar surya-candra (mentari). Kemari dan lihatlah dirimu dalam kaca cermin ini” begitulah Sang Hyang Tunggal berkata pada Bathara Ismaya.

Bathara Ismaya segera melihat dirinya pada kaca cermin, terkejut ia melihat dirinya bercahaya menyilaukan bagai sinar surya-candra.

“Duh penguasa semesta alam, perkenankan hamba untuk bertanya, siapakah yang merubah cahaya hamba hingga menjadi seperti saat ini?” begitulah pertanyaan Bathara Ismaya.

Sang Hyang Tunggal : “Hai putraku Ismaya! Perkataanmu itu menandakan bahwa engkau meragukan kuasaku. Maka dari itu engkau tak akan kurestui dang tak akan kuberikan kewenangan untuk merajai manusia di Marcapada. Hanya aku beri kewenangan membangun kerajaan di jagad Sunyaruri saja. Jika engkau menampakan diri di Marcapada hanya aku berikan kewenangan menjadi pengasuh, mengasuh para ksatria keturunan adikmu si Manikmaya”

Bathara ismaya bersujud mengiba-iba, hingga kapalanya bagaikan dibenamkan kedalam tanah, Karena begitu takutnya medapatkan amarah, lalu memohon dengan iba : “Aduh gusti sang penguasa semesta alam, hamba sanggup melaksanakan apa yang engkau bebankandengan rela hati, karena memang nyata engkau adalah yang Maha Kuasa. Permohonan hamba, semoga engkau berkenan memberikan ampunan atas segala kesalahan hamba”

Sang Hyang Tunggal : “Hai putraku Ismaya! Angaktlah kepalamu, menghadaplah keatas, sesungguhnya aku telah memberi ampunan atas segala kesalahanmu”.

Bathara Ismaya mendongakkan kepalanya. Tubuhnya disiram Tirtamarta Kamandanu oleh Sang Hyang Tunggal seraya berkata : “Hai putraku Ismaya, janganlah engkau berduka, karena ala Sunyaruri itu tidak berbeda dengan halnya alam Marcapada, terlebih dari itu aku akan mengabulkan segala permohonanmu, dan saat ini engkau akan kuberikan bermacam-macam sebutan, yaitu : Bathara Ismaya, Bathara Tejamaya, Batharan Ismara, Bathara Samara atau Bathara Semar, Bathara Jagadwungku, Sang Hyang Jatiwisesa atau Sang Hyang Suryakantha”

Bathara Ismaya pun kembali bersujud dan mengucapkan segenap syukur dan terimakasih yang tak terkira.

Setelah itu, Sang Hyang Tunggal lalu mengundang wanita yang akan menjadi jodoh Bathara Ismaya dengan cara mengheningkan cipta (gaib). Dalam waktu sekejap mata, jleg! Ada seorang wanita yang sangat cantik tiada tara bernama Dewi Senggani, berdiri menghadap Sang Hyang Tunggal yang saat itu telah mengejawantah dengan wujudnya berdiri dihadapan Bathara Ismaya dan Bathara Manikmaya. Dewi Senggani itu adalah cucu dari Sang Hyang Wenang, atau putrid dari Sang Hyang Ening. Maka Dewi Senggani dan Bahara Ismaya adalah saudara sepupu karma Sang Hyang Tunggal dan Sang Hyang Ening adalah kakak beradik.

“Eee Senggani! Engkau tak perlu terkejut oleh karena dirimu kuundang kehadapanku. Ketahuilah, atas kehendakku engkau akan kujodohkan dengan saudara sepupumu sendiri, yaitu Bathara Ismaya”.

Dewi Senggani pun menjawab : “Hamba hanya pasrah atas kehendak paduka”

Sang Hyang Tunggal lalu berkata pada Bathara Ismaya : “Putraku Ismaya! Ketahuilah, Si Senggani kuserahkan kepadamu, jadikanlah dia jodohmu, dan engkau tetap kurestui untuk merajai Jagad Sunyaruri”

Menurut pedhalangan, istri dari Bathara Ismaya adalah Dewi Kanastren.

Setelah mendengar ucapan Sang Hyang Tunggal yang demikian itu, Bathara Ismaya diberikan pelajaran Guna Kasantikan (ilmu kesaktian) oleh Sang Hyang Tunggal, lalu diperintahkan untuk pergi ke alam jagad Sunyaruri didampingi oleh Dewi Senggani. Bathara Ismaya berkata Sendika (hamba laksanakan), lalu segera berangkat bersama sang istri.

Setelah kepergian Sang Hyang Jagadwungku (Batharan Ismaya), Bathara Manikmaya bertanya pada Sang Hyang Tunggal : “Duh Sang Penguasa Jagad Raya. Paduka memang nyata kuasa menutahkan semua makhluk. Hamba menyadari, bahwa keberadaan hamba adalah dari kekuasaan paduka. Tetapi mengapa paduka menitahkan hamba denga wujud yang sangat rupawan, namun tidak dianugrahkan kelebihan apapun. Sedangkan kasih kemurahan paduka yang dianugrahkan pada kakanda Ismaya begitu besar tiada tandingnya”.

Sang Hyang Tunggal : “Eee putraku Manikmaya, jangan sekali-kali mempunyai prasangka jika aku berputra engkau akan kutitahkan sebagai seorang yang bodoh. Engkau sendiri mengetahui bahwa aku berkuasa mengadakan yang belum ada dan menyirnakan yang sudah ada. Dan janganlah engkau menyangka bahwa anugrah yang aku berikan pada kakandamu itu begitu besar tanpa tandingnya. Karena sesungguhnya anugrah yang akan kuberikan kepadamulah yang sangat besar tak tertandingi. Kakandamu hanya dapat menguasai Jagad Sunyaruri, sedangkan dirimu aku berikan wewenang menguasai Triloka. Nah, kemari mendekatlah lihatlah kedalam kaca cermin ini, apa yang terlihat olehmu?”

Bathara Manikmaya lalu mendekat dan melihat kedalam kaca cermin yang dimaksud Sang Hyang Tungga. Didalamnya tampak seluruh jagad raya seisinya.

“Hai putraku Manikmaya! Apayang tampak olehmu?”begitulah Sang Hyang Tunggal bertanya.

Jawaban Bathara Manikmaya : “Yang Mulia, seluruh Jagad raya seisinya tampak seluruhnya oleh hamba. Memang benar dan nyata adanya bahwa kasih kemurahan paduka pada hamba tiada tandingan besarnya. Namun mengapa hamba tak dapat melihat wujud paduka, sedangkan seluruh jagad raya dan seisinya tampak oleh saya?!”

Sang Hyang Tunggal : “Tadi telah ku uraikan kepadamu bahwa keberadaanku adalah keberadaanmu juga, keberadaanmu adalah keberadaanku juga, maka jika wujudmu telah tampak olehmu didalam kaca cermin ini artinya engkau pun telah melihat wujudku”.

Bathara Manikmaya :”Yang mulia, ternyata paduka memang menitahkan hamba sebagai titah yang unggul. Tidak ada titah lain yang lebih unggul dari pada keunggulan hamba. Terbukti dengan kasih kemurahan paduka teramat besar tanpa tandingan, karena tiada sedikitpun cacat pada diri hamba”

Sang Hyang Tunggal : “Hey putraku Manikmaya!! Karena engkau telah sombong merasa tanpa cacat, maka engkau terkena tulah sang pencipta alam semesta. Ketahuilah! Dikemudian hari engkau akan mendapatkan cacat empat macam, yaitu :”

Setelah mendengar apa yang diutarakan Sang Hyang Tunggal, Bathara Manikmaya merasa menyesal dan sedih, lalu segera bersujud dan memelas memohon ampunan.

Sang hyang Tunggal : “Hay putraku Manikmaya! Janganlah engkau bersedih atas empat cacat yang akan engkau terima. Semua itu adalah pertanda yang membuktikan bahwa engkau adalah seorang hamba sahaya yang dititahkan, hanya saja engkau mendapatkan titipan kekuasaanku. Jika engkau luput dari segala cacat maka engkau tidak akan merasa sebagai hamba sahaya yang dititahkan. Karena pada dasarnya seorang hamba itu memang sudah seharusnya menyandang empat perkara buruk, yaitu : lupa, sial, murka, kerusakan”.

“Eee putraku Mnikmaya! Terimalah apa yang sudah menjadi kepastian takdir yang tal dapat diubah lagi. Jika engkau dapat menerima semua ini dengan ikhlas, maka niscaya engkau akan mendapatkan anugrah, sebagai pengobat rasa sungkawamu. Wujud Nugraha yang pertama adalah Kadibyan (Keahlian), yaitu seperti Kelebihan, kebijaksanaan terhadap segala sesuatu, mengetahui rahasia dunia, perhitungan perputaran mentari dan bintang-bintang serta benda langit lainnya. Mengetahuia apapun yang belum terkatakan maupun yang akan terjadi. Yang kedua adalah Kamayan, yaitu berupa kesaktian, kedigdayaan, ilmu kanuragan dan keunggulan. Keteguhan dan kepiyawaian, tawar pada bias, tak terbakar oleh api, tak basah oleh air, dapat berwujud pria dan berwujud wanita, dapat manjing ajur ajer (?.red), dapat masuk kedalam bumi dan terbang diangkasa, dapat menghilang dan muncul kembali, dapat berwujud sukma halus, memperlihatkan sesuatu yang gaib, mendekatkan segala sesuatu yang berjarak jauh, merubah keadaan, memindahkan tempat, mewujudkan yang belum ada dan menyirnakan yang telah ada. Yang ketiga adalah Kahuwusan, yaitu kesempurnaan segala kenyataan, penanggung jawab terhadap Dunia, berpamor kawula-gusti, Panjing-suruping pati, pangulahing kasuksman, Penitisan dan panyakra-manggilingan”

Bathara Manikmat tampak sangat bahagia mendengar apa yang disampaikan olah Sang Hyang Tunggal. Maka ia langsung bersujud merendah seraya berkata : “Duh Yang Mulia dijagad, kini hamba akan menuruti apapun yang paduka ucapkan. Hamba juga akan selalu menerima dengan ikhlas apapun yang menjadi kehendak sang penguasa takdir”

Sang Hyang Tunggal : “Jika dengan lahir batin engkau telah dapat menerima terhadap jatuhnya segala yang menjadi suratan takdir, sudah barang tentu engkau akan menerima Anugrah yang besar”

Setelah itu Bathara Manikmaya disiram Tirtamarta Kamandanu oleh Sang Hyang tunggal, lalu diberikan pelajaran mengenai Kawignyan 3 perkara yang tersebut diatas (Kadibyan, Kamayan, Kahuwusan), setelah tuntas mempelajari 3 perkara tersebut, Bathara Manikmaya berkata : “Pukulun (Yang Mulia??.red). berhubung paduka telah memastikan bahwa hamba akan berputra sembilan, dapatkah paduka membei isyarat tentang datangnya jodoh saya”

Sang Hyang Tunggal : “Datangnya jodohmu, saat ini belum waktunya. Namun engkau aku izinkan untuk menyebarkan benihmu yang akan menjadi para raja manusia. Dan aku akan memberikanmu jodoh seorang dari kalangan manusia. Dikemudian hari engkau akan bertemu dengan jodoh itu yaitu seoang wanita dari tanah Parasu (Persi ? .red). keturunan Bagendha Salah yang mempunyai Citra yang dari sekedar indah”.

Setelah berbicara demikian, Sang Hyang Tunggal lalu menyerahkan kerajaan dan seluruh kekuasaannya, begitupula dengan Cupumanik Asthagina, Retna Dumilah, Lata Mahosadhi dan Pustakadarya (Isinya catatan sejarah perjalanan hidup Sang Hyang Nurcahya hingga Sang Hyang Tunggal) pub diserahkan. Setelah semua itu diterima oleh Bathara Manikmaya, Sang Hyang Tunggal berkata : “Hey putraku Manikmaya! Sekarang kau telah membuktikan kenyataan padaku. Aku percaya apdamu, apaun yang ingin kau ciptakan akan terwujud, apa yang menjadi niatmu akan terlaksana, apa yang kau inginkan akan tiba. Engkau aku berikan wewenang untuk menguasai Triloka, merajai manusia, segala hewan-binatang dan para jin, dari tanah Parasu ketimur hingga batas bumi bagian timur”.

“Hai putraku Manikmaya! Ketahuilah, leluhurmu mulai dari Sang Hyang Nurcahya, Sang Hyang Nurrasa, Sang Hyang Wenang dan aku, juga termasuk dirimu adalah sama-sama luput dari kematian, namun para keturunanmu dikemudian hari akan tetap mengalami kematian selayaknya manusia biasa di Marcapada, dan sudah tidak lagi mendapat anugrah kekuasaan selayaknya aku dan dirimu, dan juga tak mengalami perjalanan hidup layaknya para dewa, karena sudah tak akan ada lagi manusia yang sanggup melakukan tapa-semedi. Sama seperti asal-usulnya yaitu Nabi Adam dan Sang Hyang Sita (Sis) akan mengalami kematian dan tak mendapat anugrah kekuasaan yang melebihi manusia sewajarnya”.

Bathara Manikmaya : “Duh yang bersifat pemurah pada para titah, hamba memohon agar paduka berkenan memberikan kasih sayang kepada semua keturunan hamba, selamanya dan berkuasa layaknya para dewa juga jangan sampai mereka tidak memuja paduka”.

Sang Hyang Tunggal : “Putraku Manikmaya, ketahuilah! Yang aku utarakan tadi adalah suatu kepastian yang diinginkan oleh Yang Maha Kuasa. Tak dapat diubah, karena sifat seorang titah adalah hanya harus pasrah dab ikhlas atas apa yang telah digaris kan oleh kehendak Tuhan. Berhubung engkau telah menjadi wujud nyata dari diriku, maka ketahilah bahwa diriku tidak menunggal dengan dirimu tetapi selalu menyeliputimu. Layaknya sekuntum bunga, engkau adalah wujud bunga dan aku adalah aroma wanginya, layaknya madu, engkau wujudnya dan aku adalah rasa manisnya. Maka engkau dan aku dapat dikatakan sebagai dua yang tunggal. Karena semuatelah aku pasrahkan padamu ketahuilah bahwa engkau mempunyai 4 saudarayang semuanya adalah putraku. Yang pertama adalagh Sang Hyang Darmadewa (Sang Hyang Rudra), Kemudian Sang Hyang Darmastuti, lalu Sang Hyang Dewanjali serta Sang Hyang Jatiwisesa yaitu kakandamu Bathara Ismaya. Mereka semua adalah menjadi tanggung jawabmu, karena hanya engkaulah yang aku berikan wewenang menguasai jagad raya, sebagai Tajaliningsung (Tajali : pengganti, wujud nyata.red). Pesanku padamu, jika bertemu dengan manusia yang pada ubun-ubunnya terdapat cahaya tercurah seperti cahaya mentari-rembulan, itu adalah Panuksma (titisan, pengejawantahan) kakandamu si Ismaya. Meskipun teramat buruk rupa janganlah engkau menghina (kecewakan hatinya), turuti segala permintaannya, karena segala permintaannya adalah telah jelas baik bagiku”.

Bathara Manikmaya bersujud, lalu berkata sendika (Baik, laksanakan). Dalam sekejap mata lalu terdengar suara berdebur memenuhi jagad. Terdengarnya suara tersebut bersamaan dengan hilangnya kaca cermin, menandakan bahwa Sang Hyang Tunggal telah muksa. Tinggallah Bathara Manikmaya sendiri.

Menurut cerita pedhalangan, Sang Hyang tunggal berkhayangan di Alangalangkumitir. Istrinya pada awalnya adalah Dewi Dermani, putri dari Sang Hyang Wening atau Sang Hyang Darmajaka. Setelah Dewi Dermani berputra 3, yaitu : Sang Hyang Lodra atau Rudra (Sang Hyang Dermadewa), Sang Hyang Darmastuti, dan Dewanjali. Sang Hyang Tunggal lalu memperistri Dewi Rekathawati, putri dari Prabu Rekathatama seorang raja bangsa jin dari samudra. Dewi Rekathawati hanya sekali melahirkan berwujud sebutir telur bagaikan Sesotya (batu mulia, permata.red) dengan cahaya menyilaukan. Akhirnya telur tersebut pecah menjadi tiga manusia, yaitu: Sang Hyang Antaga (Togog) tercipta dari kulit telur, Sang Hyang Ismaya (Semar) tercipta dari putih telur dan Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru) tercipta dari kuning telur.



*) Keterangan :
Layang Paramayoga dalam menjelaskan nama delapan Keblat (arah penjuru) dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno) kurang tepat. Menurut Oudjavaansch-Nederlandsch woordenlijst door Dr. H.H. Juynboll, sebuatan Delapan arah penjuru tersebut adalah :
1. Purwa : Timur
2. Aisanya,Aisani : Timur laut
3. Uttara : Utara
4. Bayabya atau wayawya : Barat laut
5. Pascima : Barat
6. Nairiti : Barat Daya
7. Daksina : Selatan
8. Agneya : Tenggara



Terjemahan Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita karangan S. Padmosoekotjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar