Senin, 25 April 2011

FALSAFAH & HIKMAH=KAH ATW # KAH ?

Makna Filsafat 

Kita mulai dengan terminologi. Istilah ‘filsafat’ atau ‘falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab. Ia merupakan pengaraban dari kata majmuk (philosophia) yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Apa makna ‘sophia’ dijelaskan oleh Aristoteles: “Biasanya sophia dipahami sebagai pengetahuan mengenai pokok-pokok perkara dan sebab-sebabnya (oti μhn oun h sojia peri tinaV arcaV   kai aitiaV estin episth μh dhlon).”

Oleh para cendekiawan Romawi dan tokoh-tokoh Gereja istilah ‘sophia’ diterjemahkan dalam bahasa Latin menjadi ‘sapientia’, dari kata kerja sapere yang artinya mengetahui. Definisinya seperti dikemukakan oleh Thomas Aquinas: “Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebab-sebab utama dan sebab-sebab umum; sapientia meneliti sebab-sebab inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas primas et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum considerat)”.

Demikianlah istilah ‘filsafat’ berarti ilmu pengetahuan yang dicapai manusia dengan akal pikirannya. Para filsuf/filosof mempelajari aneka persoalan alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, mineral dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf adalah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pembedaan sempit seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains, antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara ahli fisika dan ahli kimia. Bahkan sehingga zaman Isaac Newton (1642-1727), kajian mengenai fenomena-fenomena alam yang kini kita namakan ‘fisika’ masih disebut ‘filsafat alam’. Simaklah judul karya monumentalnya: Philosophiae naturalis principia mathematica – prinsip-prinsip matematis dari filsafat alam (1687). Adapun istilah ‘scientia’ dan turunannya (science, scienza, sains) dalam arti yang sempit baru marak digunakan sejak dua abad terakhir ini.
Sebagai akibatnya, istilah filsafat mengalami pengerucutan hingga akhirnya dimaknai tak lebih dari sekadar kajian spekulatif terhadap asal-usul dan pokok-pokok yang mendasari sesuatu. Lalu ketika dihubungkan dengan cabang ilmu tertentu, filsafat kemudian diartikan sebagai perenungan dan uraian menyeluruh lagi mendalam tentang persoalan-persoalan asasi, prinsip-prinsip dan hukum-hukum dalam ilmu yang bersangkutan. Muncullah istilah filsafat ilmu matematika, filsafat ilmu fisika, filsafat ilmu biologi, filsafat ilmu pendidikan, filsafat ilmu ekonomi, dan lain sebagainya. Situasi ini bertambah buruk menyusul kampanye antimetafisika yang dimotori pengusung ‘logical positivism’ alias ‘logical empiricism’ semacam Bertrand Russell, Alfred Jules Ayer, Ludwig Wittgenstein, dan Rudolph Carnap.  Bagi mereka, filsafat bukanlah ilmu tentang Tuhan, alam dan manusia yang kini sudah dikapling kapling menjadi teologi, fisika, biologi, kimia, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi dan sebagainya itu, akan tetapi uraian logis serta matematisasi bahasa yang digunakan oleh ilmuwan sebagai medium penyampai pengetahuan. Inti doktrin mereka tersimpul dalam ungkapan Wittgenstein yang masyhur itu: ‘Wovon man nicht sprechen kann, darüber muß man schweigen’.5 Namun, kalau kita ikuti pendapat mereka ini niscaya tokoh-tokoh semacam Plato dan Aristoteles pun tak layak disebut filsuf, sebab hanya mereka sajalah yang pantas digelar filsuf.

Hikmah atau Falsafah? 


Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang umum dipakai untuk ‘sophia’.  Pertama, hikmah: istilah ini dipakai oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata ‘sophia’. Kata ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan bermuara pada al-Qur’an. Al-Amiri, misalnya, menulis bahwa hikmah berasal dari Allah, dan diantara manusia yang pertama dianugrahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (al-hukama’ as-sab‘ah) –yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan Chilon.6 Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara harfiah kata ‘falsafah’ artinya hubb al-hikmah (cinta pada kearifan).7 Pandangan yang kurang lebih sama ditegaskan Ibn Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya: hikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan kebenaran dengan pikiran dan perbuatannya sebatas kemampuannya sebagai manusia (istikmal an-nafs al-insaniyyah bi tashawwur al-umur wa ttashdiq bi l-haqa’iq an-nazhariyyah wa l-‘amaliyyah ‘ala qadri thaqat al-insan). Siapa berhasil menggapai ‘hikmah’ beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar Ibn Sina.
Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan istilah ini. Di antara yang paling keras menentangnya ialah Imam al-Ghazali. Menurut hemat beliau, para filsuf telah membajak lafaz ‘hikmah’ untuk kepentingan mereka, padahal ‘hikmah’ yang dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an bukan filsafat, melainkan Syari‘at agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.

Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke dalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-Kindi termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui karyanya Fi al-Falsafah al-Ula (Tentang Filsafat Utama). Menurut beliau, filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu sebatas kemampuan manusia. Filsafat teoritis bertujuan menemukan kebenaran, sedangkan filsafat praktis bertujuan mengarahkan prilaku kita agar selaras dengan kebenaran. Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan.

Filsafat adalah upaya manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi. Abu Hayyan at-Tawhidi mencatat tak kurang dari enam definisi filsafat.11 Sementara kumpulan cendekiawan yang menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa’ (boleh jadi nama ini merupakan terjemahan bebas namun puitis dari philosophoi – kawan-kawan ‘sophia’) berkata: ‘Permulaan filsafat itu suka kepada ilmu [yakni rasa ingin tahu]. Langkah berikutnya adalah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan kemampuan manusia. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang diketahui (al-falsafah awwaluha mahabbatu l-‘ulum, wa awsathuha ma‘rifatu haqa’iqi l-mawjudat bi-hasabi t-thaqati l-insaniyyah wa akhiruha al-qawl wa l-‘amal bi-ma yuwafiqu l-‘ilma)’.

Ketiga, istilah ‘ulum al-awa’il yang secara harfiah berarti ‘ilmu-ilmu orang terdahulu’. Istilah ini mengandung makna negatif, terutama ketika dipakai oleh penulis-penulis sejarah dari kalangan ahli hadits seperti ad-Dzahabi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani. Disebut demikian, lantaran yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia, Yunani dan Romawi, yakni ilmu-ilmu logika, matematika, fisika, kedokteran, astronomi dan lain sebagainya.

Demikianlah beberapa istilah filsafat yang berkembangan di kalangan ulama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar