Sabtu, 16 Juli 2011

SANG HYANG NARADA


SANG HYANG NARADA.


Sang hyang Narada dan Bathara Guru, menurut Layang Paramayoga, saudara sepupu sesama buyut, yaitu sama-sama cucu buyut Sang Nurrasa. Namun menurut silsilahnya lebih tua Sang Hyang Narada, maka Bathara Guru menyebut Sang Hyang Narada dengan sebutan “kakang Narada” (kakak Narada.red).

Menurut layang Purwakanda, Sang Hyang Narada dan Bathara Guru adalah saudara seibu-bapak dan Sang Hyang Narada lebih tua. Menurut buku tersebut, Sang Hyang Tunggal berputra empat, yaitu Sang Hyang Puguh atau Togog, Sang Hyang Punggung atau Semar, Sang Hyang Manan atau Narada dan Sang Hyang Samba atau bathara guru.

Menurut laying Mahabharata, Sang hyang Narada adalah putra dari Maharesi Kasyapa, yang dilahirkan oleh istri keduabelasnya yang bernama Dewi Muni, sedangkan dalam buku tersebut tidak ada disebutkan mengenai Bathara Guru.

Layang Paramayoga menerangkan, Sang Hyang Caturkanaka beristrikan Dewi Laksmi, setelah berputra tiga, yaitu Sang hyang Narada (Kanekaputra), Sang Hyang Pratanjala dan Dewi Tiksnawati, Dewi Laksmi kemudian direbut oleh Sang Hyang Jagadnata (Bathara Guru) sebagai pengganti Dewi Uma (terdapat dalam cerita Bathara Guru).
Dikarenakan sang Istri telah direbut maka Sang Hyang Caturkanaka menjadi teramat menderita dan sungkawa. Sang dewi benar-benar mustika diantara para wanita. Sang dewi terus terbayang dimata dan selalu bertahta dalam angan-angan Sang Hyang Caturkanaka. Awalnya Sang Hyang Caturkanaka tak mapu melakukan apapun, tiada semangat hidup dan merasa menderita seribu luka lara serta kesedihan. Namun lama kelamaan kesedihan Sang Hyang Caturkanaka akhirnya mereda, ihklas dengan apa yang terjadi dan pasrah kepada takdir. Akhirnya Sang Hyang Caturkanaka berkeinginan untuk berkeluarga. Sang Hyang Caturkanakapun kembali mendapatkan dua putra, yaitu Sang Hyang Caturwarna dan Sang Hyang Caturbuja. Maka Sang Hyang Narada memiliki dua saudara seayah-ibu dan dua saudara seayah lain ibu.

Sang Hyang Kanekaputra (Narada) sangat piaway dibidang Guna Kasantikan (Ilmu Kesaktian) dan jaya kawijayan (kemampuan yang unggul), amat gemar bertapa disamudra, tak basah oleh air, tak tenggelam disamudra. Disebabkan karena betapa sungguh-sungguhnya dalam bertapa, raga Sang Hyang Kanekaputra bersinar hingga terlihat dari Jongringslaka, Khayangan Sang Hyang Jagadnata (Bathara Guru). Oleh karena itu Sang Hyang Jagadnata memerintahkan kepada para Dewa untuk memriksa benda apa yang bersinar ditengah samudra menyilaukan hingga ke Jongringslaka. Setibanya disamudra para dewa melihat ada seorang Maharesi sedang bersemedi. Dengan tanpa mengganggu konsentrasi yang sedang bersemedi, para dewa langsung kembali ke Suralaya untuk melaporrkan kepada Sang Hyang Jagadnata bahwa ada seorang maharesi yang sedang bersemedi ditengah samudra.

“Hai semua para Dewa! Maharesi yang sedang bersemedi tersebut jemputlah dan bawa kehadapanku. Aku berpesan, jika Maharesi tersebut enggan untuk dihadapkan padaku, paksa saja, jika perlu bunuh saja” begitulah perintah Sang Hyang Jagadnata.

Para dewa menghaturkan kesediaan, lalu kembali kesamudra untuk menjemput sang Maharesi.

“Hai maharesi yang sedang bersemedi, ketahuilah! Kami para dewa semua ini mengemban perintah Sang Hyang Jagadnata, yang memerintahkan untuk mengundangmu. Dirimu diperintahkan untuk menghadap Sang Hyang Jagadnata di Jonggringslaka sekarang juga, bersama-sama kami semua para dewa ini.” Begitulah kata para Dewa pada Sang Maharesi Tapa.

Sang Hyang Narada yang kala itu masih dalam keadaan bersemedi menutupi babahan hawa sesanga (sembilan lubang tubuh), menoleh saja tidak kepada para dewa, terus berkonsentrasi pada semedinya. Hingga berulang kali para dewa menyampaikan undangan Sang Hyang Jagadnata, namun tak sedikitpun membuat sang maharesi bergeming dari semedinya. Lama kelamaan habis sudah kesabaran para dewa yeng kemudian melakukan tindakan paksa. Para dewa secara bersamaan menggotong sang Maharesi dengan maksud akan dibawa kehadapan Sang Hyang jagadnata. Namun para Dewa yang mencoba mengangkat sang Maharesi secara bersama-sama merasa tidak kuat, bahkan tubuh sang Maharesi sedikitpun tak bergerak. Para dewa pun menjadi geram, sang maharesi pun dikeroyok dengan berbagai macam senjata. Namun, meskipun dirajam dengan berbagai macam senjata kedewaan, sang Maharesi tetap tampak tenang dan tetap berkonsentrasi pada semedinya. Setelah merasa kelelahan mencoba mengeroyok sang Maharesi, para dewa kemudian kembali menghadap Sang Hyang Jagadnata, melaporkan segala sesuatu yang telah mereka alami. Setelah mendengar apa yang dihaturkan para dewa, Sang Hyang Jagadnata pun bertindak, dan pergi sendiri ketengah samudra dimana Sang Maharesi bersemedi dengan amarahnya.

“Hai Maharesi yang sedang bertapa! Apa yang menjadi keinginanmu?! Apa engkau ingin mempunyai kesaktian dan kebijaksanaan melebihi para dewa semua?!” begitulah pertanyaan Sang Hyang Jagadnata pada sang Maharesi.

Karena yang sedang bertapa hanya diam tiada bersuara sedikitpun, Sang Hyang Jagadnata kembali berkata, “Hai Maharesi yang sedang bertapa, ketahuilah! Meskipun engkau tak berkenan berterus terang atas apa yang engkau inginkan, aku dapat mengetahui apa yang menjadi niat hatimu. Engkau ityu sangatlah sombong dan berkeinginan berlebihan, ingin menjadi penguasa Jagad. Keinginanmu yang demikian itu tidaklah mungkin dapat tercapai, karena ya akulah yang terhebat berkuasa atas jagad ini tanpa tanding. Meskipun engkau bersemedi hingga seributahun dan aku tanpa semedi seharipun, tidaklah mungkin engkau dapat menandingi diriku, karena diriku telah ditakdirkan untuk mengayomi dunia. Engkau kalah tua dari aku, sedangkan yang lebih tua dariku hanyalah bumi dan langit serta cahaya yang meliputi dunia ini. Sedangkan yang paling tua diantara semua adalah Sang Hyang Wisesa.”

Setelah ucapan Sang Hyang Jagadnata selesai, Sang Pertapa mulai terbangun dari semedinya, lalu mulai berbicara sembari tertawa terbahak-bahak, “Ketahuilah ! diriku ini yang bernama Sang Hyang Narada, ya Sang Hyang Kanekaputra. Sebelum engkau berbicara, aku sudah tahu bahwa engkau adalah Sang Hyang Jagadnata sang pengayom dunia dan penguasa jagad, raja dari semua dewa. Namun, jika pengetahuanmu hanya sebatas seperti yang engkau ucapkan tadi, semua igtu belum bias disebut bahwa enghkau mengetahui sumber pengetahuan tentang kesempurnaan hidup dan belum memahami atas Kesejatian Yang Tunggal, karena keberadaan Sang Hyang Wisesa engkau anggap adalah yang paling tua. Sedangkan keberadaan Sang Hyang Wisesa telah mendengar adanya Swara kadi gentha kekeleng dumeling (suara tanpa diketahui asalnya?.red) hal itu menandakan bahwa ada yang lebih mendahului. Siapakah yang mendahului tersebut?! Dan lagi semasa ketiadaan bumi langit belum tercipta, yang ada hanyalah hawa dingin, maka siapa yang menciptakannya?! Jika engkau belum mengetahui penjelasan atas apa yang aku utarakan ini, maka engkau belum dapat disebut Putus ing budi (tamat atas pengetahuan?.red)”

Setelah mendengar perkataan Sang Hyang Narada yang demikian tersebut, Sang Hyang Jagadnata menjadi tercenung, karena merasa bahwa dirinya ternyata belum tamat atas pengetahuan, akhirnya berakat dengan bahasa yang teramat sangat halus, “Kakak Kanekaputra…, saat ini saya baru menyadari, bahwa sesungguhnya diri saya belum tamat atas pengetahuan. Maka dari itu, jadilah saudara tuaku, berikanlah pelajaran padaku, bagaimana penjelasan atas apa yang tadi engkau utarakan, sebagai penerang jiwaku. Hendaklah kakak naik kekhayangan, saya pasrahkan wewenang memerintah para dewa dan para raja yang selama ini dibawah kekuasaanku, tak akan ada yang akan membangkang segala perintah kakak”

Setelah mendengar Sang Hyang Jagadnata berkata demikian, Sang Hyang Narada pun kembali berbicara dengan sangat sopan, “Duh Sang Hyang Jagadnata sang pengayom dan penguasa dunia. Besar rasa terimakasihku atas segala ucapan dan permintaanmu. Dan kakak bersedia memenuhi segala permintaanmu, tak sekali-kali mengingkari atas segala keinginanmu”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Sang Hyang Kanekaputra turut serta bersama Sang Hyang Jagadnata kambali ke Jonggringslaka. Sesampainya di khayangan Sang Hyang Narada memberikan pelajaran mengenai pengetahuan yang belum diketahui oleh Sang Hyang Jagadnata. Selanjutnya Sang Hyang Narada pun menjadi tetua dan penasehat diantara para dewa, dan juga menjadi Pepatih Sang Hyang Jagadnata.

Menurut cerita Pedhalangan, Sang Hyang Narada berkhayangan di Sidiudaludal, permaisurinya tak pernah disebutkan.

Kapi Anila, patih dari Raja Sugriwa raja para kera di Guwakiskendha (cerita Ramayana), adalah putra Sang Hyang Kanekaputra yang terlahir tanpa ibu. Konon, Anila tercipta dari selembar daun “Nila” yang ditempelkan oleh Sang Hyang Jagadnata dipunggung Sang Hyang Narada dengan diberikan mantra, agar berubah menjadi seekor kera. Karena ampuhnya mantra Sang Hyang Jagadnata, daun Nila pun berubah menjadi seekor kera, terus menempel pada punggung Sang Hyang Narada tak mau lepas sambil terus memeluk lehernya. Sang kera pun mau turun dan lepas dari punggung Sang Hyang Narada setelah Sang Hyang Narada mau mengakui sang kera sebagai putranya. Oleh Sang Hyang Narada diberi nama Anila, karena tercipta dari selembar daun Nila. Namun kisah yang demikian itu dapat dipastiakan hanyalah jenis kisah “Pangothak athik mathuk” (mengutak-atik terbentuk?.red) saja, tak berdasar ilmiah, sebab kata “Anila” sesungguhnya mempunyai arti “Angin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar