Jumat, 29 Juli 2011

Puasa ala Masyarakat Kenekes

Orang luar biasa menyebutnya Baduy, tetapi mereka lebih suka disebut urang Kanekes. Mereka termasuk salah satu kelompok yang bisa dianggap sebagai prototipe masyarakat Sunda pada masa lalu. Kanekes mengacu pada nama desa tempat orang Kanekes bermukim. Letaknya di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, Banten. Luasnya sekitar 5.101,85 hektar. Lokasinya berada di daerah hulu aliran Sungai Ciujung, di bagian utara Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Menurut Ensiklopedi Sunda (2000:324), ada tiga pendapat tentang asal-usul orang Kanekes. Pertama, ada yang mengatakan mereka adalah keturunan bala tentara Prabu Siliwangi yang menyingkir ke sana dari kejaran pasukan Islam. Kedua, mereka adalah pengungsi beragama Hindu dari Gunung Pulosari yang terdesak kekuasaan Kesultanan Banten yang beragama Islam. Ketiga, menurut penuturan masyarakat Kanekes, mereka tidak datang dari mana pun. Dari dulu hingga sekarang mereka tinggal di sana.


Menurut adat Kanekes, wilayahnya dibagi tiga, yaitu Tangtu, Panamping, dan Dangka. Wilayah Tangtu ada di pedalaman. Mereka disebut urang Kajeroan (Baduy Jero). Adapun orang Panamping dan Dangka disebut urang Kaluaran (Baduy Luar). Urang Kajeroan tinggal di tiga kampung, yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana. Setiap kampung Tangtu dipimpin oleh puun, sedangkan urang Kaluaran dipimpin kokolot.

Umumnya orang Kanekes memeluk agama yang dinamakan Sunda Wiwitan. Sebagaimana orang Islam, meski cara, waktu, dan praktiknya berbeda, orang Kanekes terbiasa pula melaksanakan puasa. Mereka memiliki tradisi berpuasa pada saat upacara ngawalu.

Ngawalu
Istilah ngawalu, menurut Saleh Danasasmita dan Anis Jatisunda (Kehidupan Masyarakat Kanekes, 1986: 32), berasal dari kata walu yang berarti bali atau balik. Jadi, kata kawalu berarti kembali. Akan tetapi, yang dimaksud dengan ngawalu adalah mengadakan upacara sehabis memanen padi dari huma (ladang) dan menyimpan atau mengembalikannya ke leuit (lumbung).

Ngawalu termasuk salah satu tugas yang harus dilaksanakan secara berkala oleh orang Kanekes. Tugas yang dimaksud adalah kalanjakan kapundayan, yaitu berburu dan menangkap ikan.

Upacara ngawalu dilaksanakan tiga kali setahun. Pertama, ada yang disebut kawalu tembey yang diadakan setiap tanggal 17 bulan Kasa (bulan ke-10). Kedua, kawalu tengah setiap tanggal 18 Karo (bulan ke-11). Ketiga adalah kawalu tutug yang biasa diadakan tiap tanggal 17 Katiga (bulan ke-12). Kawalu tembey dan kawalu tengah merupakan milik mereka, sedangkan kawalu tengah merupakan kawalu yang dititipkan oleh orang Pakuan Pajajaran. Sebab, konon ketika Pajajaran menghilang, kawalunya dititipkan kepada orang Tangtu Padaageung.

Ketiga bulan pelaksanaan acara ini dikenal sebagai bulan Kawalu. Dari sisi orang Kanekes, kawalu bermakna larangan bagi orang luar untuk mengunjungi daerah Kanekes. Sebaliknya, orang Kanekes pun terlarang bepergian jauh dari tempatnya. Selain itu, kawalu juga berkaitan dengan kepercayaan orang Kanekes terhadap makhluk halus, baik pengganggu maupun pemelihara.

Atau, menurut perkataan orang Kanekes, seperti yang dicatat Judistira K Garna dalam disertasinya, Tangtu Telu Jaro Tujuh (1987: 327), Tilu bulan kawalu kabeh ge bulan larangan/kawalu mitembey ngurusan guriang/kawalu tengah ngurusan siluman-/sileman, kawalu tutug nganggeuskeun/dina seba, laksa tea disetorkeun, anu/narima Residen Banten.

Tembey, tengah, tutug
Buku Baduy 1950, Sebuah Catatan Perjalanan karya Suriasaputra atau Pa Sursa (Kelompok Bungawari, tt, hal 205-220) memberikan banyak informasi mengenai rincian upacara ngawalu.
Pada malam hari tanggal 16 Kasa, orang Kanekes sudah berpuasa. Mereka tidak sahur sehingga hampir sehari semalam berpuasa. Semua orang dewasa, baik Tangtu maupun Panamping, termasuk anak laki-laki yang telah disunat, wajib melaksanakannya.

Maksud puasa ini ialah untuk menyucikan diri dari nafsu jahat. Oleh karena itu, tanggal 15 bulan Kasa, sebelum berpuasa, seluruh masyarakat Kanekes wajib membersihkan lingkungan berupa halaman, kampung, jalan, dan sebagainya. Barang-barang yang datang dari luar pun harus dikeluarkan dari wilayah Kanekes.

Saat berpuasa tanggal 17 Kasa, mereka berganti pakaian. Orang Panamping berduyun-duyun menuju daerah Tangtu. Di sana mereka membuat sembilan ancak untuk wadah makanan. Di rumah seurat, kaum perempuan sibuk memasak. Beras yang ditanak berupa hasil panen baru dari huma serang.

Masakan yang didahulukan adalah untuk sesajen. Isinya terdiri dari umbut enau, umbut seel pahit, nasi padi siang (merah), nasi kuing, nasi ketan peuceuk, daging pelanduk (kancil), ikan badar, ikan cenang (sero), dan susuh (tidak dimakan).

Sekitar jam 14.00 mereka menyucikan diri di sungai. Sepanjang perjalanan ke sana, setiap tempat yang mereka lalui harus pula dibersihkan. Lalu, mereka berkumpul kembali di balai kapuunan. Sekitar jam 16.00 ancak sesajen dibawa ke kapuunan. Setelah puun ngajampean, khalayak bersama-sama menyembah dengan menyebut puuun. Setelah itu, barulah mereka bisa berbuka puasa. Khusus bagi orang Tangtu, mereka harus nyeupah (mengunyah sirih) sebelum makan.

Isi sesajen dibuka dan dibagikan untuk dicicipi semua orang yang hadir di balai kapuunan. Masyarakat umum berbuka puasa di rumah masing-masing. Adapun orang Panamping ikut menumpang di rumah orang Tangtu.

Setelah sesajen habis, maka parawari, pelayan pada perhelatan tersebut (semuanya laki-laki), membawa nasi dan lauk-pauknya sebagai makanan utama. Makanan diwadahi pada panjang (piring besar dan antik). Satu panjang untuk puun, satu untuk jaro tangtu dan seurat, dan satu panjang untuk tiga orang. Yang tidak kebagian panjang makan makanan yang dibungkus daun. Setelah itu, mereka makan buah-buahan sebagai cuci mulut. Kalau tidak ada, mereka minum wayu (tuak asam).

Setelah orang tua selesai, sekitar jam 18.00 atau 18.30 balai kapuunan berganti penghuni. Balai itu ditempati para pemuda. Mereka bersuka ria. Ada yang memetik kecapi, membunyikan karinding, dan sebagainya. Namun, pada hakikatnya, tugas mereka adalah membersihkan sampah bekas ngawalu.

Begitu pula dengan kawalu tengah dan kawalu tutug. Pelaksanaan kegiatannya sama dengan kawalu tembey. Mereka harus bersama-sama ngalanjak dan munday ikan di sungai. Mereka harus bergotong royong bersih-bersih pada tiga hari sebelum upacara dimulai. Hanya, saat kawalu tutug, mereka harus berziarah ke mandala yang terletak di hulu Sungai Ciparahiyang (Cibeo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar