Minggu, 03 Juli 2011

MEMAHAMI ARTI JANGJAWOKAN DENGAN APRESIASI BUKAN DENGAN ANTIPATI

1
“Utun, Inji, mangka ati-ati!
Ceuli ulah sok sadenge-dengena ari lain dengeeunana,
Panon ulah sok satenjo-tenjona, ari lain tenjoeunana,
Sungut ulah saomomg-omongna, ari lain omongkeunana,
Suku ulah satincak-tincakna, ari lain tingcakeunana,
Leungeun ulah sacokot-cokotna lamun lain cokoteunana.
Irung ulah sok saambeu-ambeuna ari lain ambeueuna”

Kalimat-kalimat ini dilapalkan Ema Enjun, seorang peraji di kampung saya, saat bayi dari seorang ibu lahir. Kemudian dia melapal kalimat-kalimat lain untuk mengusir makhluk halus pengganggu bayi. Setelah ayah si bayi iqamah di telinga kiri, azan di telinga kanan, Ema Enjun melanjutkan mengurusi bayi.

Maksud dari kalimat-kalimat Ema Enjun di atas adalah; “Utun, Inji, berhati-hatilah! Telinga jangan mendengar sesuatu yang tidak boleh didengar. Mata jangan melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat. Mulut jangan berbicara sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Kaki jangan menginjak sesuatu yang tidak boleh diinjak. Tangan jangan mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil. Hidung jangan mencium sesuatu yang tidak boleh dicium.”

2
Cala cili banyu mili
Bumi aku tunggang kapal
Tumpak kapal jeung gegelu
Sakapal jeung Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam
Banyu suci badan suka
Suka suci badan sampurna
Sampurna ku kersaning Allah
Laa ilaha illa Allah

Kalimat-kalimat ini dialapalkan Ema Enjun saat menjemur gabah basah yang baru dipanen. Saya tidak paham kalimat-kalimat ini. Ketika saya menanyakannya? Dia juga tidak paham. “Tidak perlu paham”, katanya, “emak gunakan saja. Ini warisan dari karuhun (leluhur).” Dia juga tidak menuliskannya dalam buku. “Buat apa ditulis? Karuhun juga tidak menuliskannya.”

Tapi ada dua kalimat yang menarik bagiku, ”Sakapal jeung Nabi Muhammad” dan “Sampurna kukersaning Allah.” Ternyata Ema Enjun mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad dan kesempurnaan di tangan Allah.

3
Di Sunda, kalimat-kalimat Ema Enjun di atas disebut jangjawokan atau mantera. Konon, jangjawokan itu ada yang bersifat negatif dan positif. Yang negatif, biasanya digunakan untuk mencelakai sesuatu atau seseorang. Sedangkan yang positif, seperti dua jangjawokan di atas.

Tapi kadang orang tidak adil memandang jangjawokan. Semua dianggap negatif. Label-label pun ditempelkan: ahli bidah, syirik, animisme, dll. Jangan heran, karena mereka menilai diawali prasangka dan kerangka berpikir tertentu. Akhirnya antipati bukan apresiasi.

Padahal dalam jangjawokan pertama di atas, misalnya, ada pesan-pesan penting untuk bekal si bayi di masa depan. Saya tidak tahu apakah bidan lulusan perguruan tinggi “terhormat”, dengan biaya “superdahsyat” memiliki pesan demikian.

Dalam jangjawokan kedua, Ema Enjun mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad, kesempurnaan di tangan Allah. Saya tidak tahu, kalimat mana yang membuat Ema Enjun musyrik dan bidah? Atau mungkin karena dia berdoa dengan bahasa Sunda? Bukankah Allah Maha Segala Bahasa?

Sampai disini, saya tidak tahu harus berbicara apa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar